Jangan Tinggalkan Aku, Bu!
Oleh: ErnawatiMenjelang siang yang terik, ibu masih terbaring sakit. Tubuhnya menggigil, dan badannya panas sekali. Walau sudah kukompres dengan kain.
Aku dan ibu adalah pendatang di kota besar metropolitan ini. Berniat mencari ayah, yang katanya ada di kota ini. Malah membuat aku dan ibu hidup terlunta-lunta.
Kami tinggal di sebuah kontrakan kecil yang berada di pinggiran kota. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, aku berjualan koran di lampu merah yang penghasilannya tak seberapa.
Tidak tega hatiku, melihat kondisi ibu. Bibir dan wajahnya pucat, tubuhnya menggigil, tetapi kening dan tubuhnya panas sekali. Sambil kukompresi, mataku tak henti-hentinya mengeluarkan air mata. Aku merasa bersalah, telah membuat hidupnya susah.
"Maafkan Nina ya Bu, telah membuat Ibu menderita seperti ini," ucapku dengan suara bergetar karena menangis.
Sakitt ... hati aku, bu, melihat kondisimu seperti ini. Aku merasa, telah menjadi anak yang gagal.
Bukannya aku tidak ingin membawanya berobat ke rumah sakit ataupun klinik. Tapi aku tak punya cukup uang. Aku pun tak punya saudara atau kerabat yang bisa di mintai tolong.
"Ibu tunggu Nina sebentar yah. Nina pergi dulu untuk membeli obat," pesanku pelan kepada ibu.
Ibu meng'angguk pelan, matanya semakin layu. Mata lesunya menatapku, bibirnya yang kering dan pucat, terasa berat untuk mengucap.
Aku berlari sekencang-kencang yang aku bisa, dengan berbekal uang lima belas ribu lima ratus yang kugenggam erat di tangan. Tidak kuhiraukan berapa kilometer aku harus berlari. Dan berapa ratus pasang mata, yang memandang dengan tatapan heran. Peluh dan keringat membasahi seluruh tubuh dan pakaianku.
Terengah-engah, sesampainya di depan apotek. Badanku membungkuk memegangi lutut, kaki terasa berat untuk masuk ke apotek tersebut.
Sekumpulan pria berjaket hitam, yang banyak berkumpul di sekitaran apotek itu, memperhatikanku. Salah satu dari mereka lantas mendatangiku.
"Ada apa, dek?" tanya pria itu kepadaku.
"Tolong saya Mas, ibu saya lagi sakit, dan lagi butuh obat, tapi uang saya hanya segini." Kutunjukkan uang yang kubawa kepada pria tersebut.
Pria itu memperhatikan, dari wajah hingga kakiku, nafasku masih terengah-engah, sembari menghusap peluh di wajah.
"Sini Dek, biar saya saja yang belikan."
Kuberikan semua uangku kepadanya.
Pria itu lantas menemui teman-temannya, dan mereka mengerubungi pria tersebut.
Tidak berapa lama, salah satu dari mereka, setengah agak berlari masuk ke dalam apotek tersebut.Kawan dari pria itu, keluar dari apotek, dengan membawa bungkusan kantong plastik, dan langsung menghampiriku, diikuti pria itu dan dua orang kawannya lagi.
"Ini Dek, obatnya, dan ini uang Adek, biar kami yang belikan secara patungan," ucap orang yang baru keluar dari apotek tadi, sembari menyerahkan uang yang tadi kuserahkan.
"Terimakasih yah Mas, saya benar-benar mengucapkan terimakasih," kataku, dan langsung aku teringat ibu yang kutinggalkan di kontrakan sendirian.
"Maaf, saya harus buru-buru, ibu saya sakit, dan saya tinggal sendirian di rumah." Aku pun segera bergegas ingin kembali pulang.
"Memang, adek pulangnya kemana?" tanya pria itu.
"Ke kontrakan dipinggiran kota, Mas," kataku.
Mereka saling bertatapan.
"Itu jauh loh, Dek. Adek tadi jalan kaki kemari?" tanya mereka.
Aku hanya mengangguk, nafasku masih sedikit terengah-engah.
"Yah sudah, sekarang Adek kami antar pulang."
Aku terharu melihat kebaikan mereka. Ternyata, masih banyak orang-orang baik di seperti mereka
"Terimakasih yah, Mas." Mataku sedikit meremang.
Pria itu segera mengambil motornya, dan mengantar aku pulang, diikuti dua motor lagi, dan mereka berboncengan.
Sesampainya aku di kontrakan aku segera buru-buru masuk, dan menghampiri ibu. Beberapa pria tersebut ikut masuk bersamaku, ingin melihat keadaan ibuku.
Ibu seperti tertidur, wajahnya terlihat sangat pucat.
"Ibu? Bangun Bu, ini aku bawakan obat biar ibu cepet sembuh." Ibu diam saja.
Dingin.
Kupegang wajahnya, tangannya, kakinya, semua dingin. Wajahnya tenang.
Telaga mataku tidak lagi mampu membendung air mata.
"Bangun ya, Bu. Ini aku sudah beli obat buat ibu."
Tetap terdiam.
Pria itu segera menghampiri Ibu, memeriksa kondisi Ibu, dan aku diam terkunci di samping ibuku.
Pria itu menoleh ke arah kawan-kawannya dengan mata yang berkaca-kaca, sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Innalilahi wainnailaihi rojiun." Berbarengan mereka mengucapkan doa perpisahan.
Aku tersentak, aku tersadar, jika Ibu sudah pergi.
Aku menghambur memeluk tubuhnya,
kugoyang-goyangkan badan ibu, hatiku merasa belum bisa menerima."Bangun Bu ... bangun ... Nina belum membahagiakan ibu. Ibu tega meninggalkan Nina sendiri, ibu jahat sama Nina...." Sakit dadaku ya Allah. Air mataku tidak berhenti mengalir.
"Nina belum membahagiakan ibu, Nina hanya membuat hidup ibu susah."
"Ibu ... Bangun!" Suara ku semakin lirih sudah tak bertenaga lagi rasanya.
Hitam duniaku, gelap dan aku, seperti terlelap.
***
Tentang penulis:
Namanya Ernawati. Gadis manis berdarah Sunda, Purwkarta, Jawa Barat. Lahir delapan belas tahun yang lalu dan kini masih rebahan di kota yang sama, hobinya membaca juga mengharapkan dia tanpa jeda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cermin (karya member generasi kedua)
Short StoryHai-hai, yukk intip karya member TTS di generasi kedua ini. Happy Reading ❤