Cokelat, Bukan Apel

13 3 1
                                    

"Kisah putri salju? Apakah kau pernah mendengar kisah tersebut?" orang dengan jubah merah gelap bertanya pelan, menyodorkan cokelat batangan. Lawan bicaranya menatapnya datar, mengambil cokelat itu.

"Apa kau tidak aneh?" tanyanya. Lawan bicaranya menggeleng. "Kalau putri salju tersedak dalam peti itu.. apa artinya putri salju tidak mengunyah apel itu? Melainkan.. menelannya. Sungguh tindakan yang naif, bukan begitu?"

Yang satunya memakan cokelat batangan dalam diam, tidak terlalu peduli. "Apa kau tahu versi lain dari kisah putri salju?" tanyanya. Yang satunya menggeleng. "Apa kau ingin aku ceritakan?"

Yang satunya membuat garis tipis di wajahnya.

....

Cokelat adalah makanan bagi para bangsawan pada masa itu. keluarga dengan rumah besar di kaki bukit itu memang termasuk keluarga berada. Mereka bisa menikmati cokelat, walau tidak setiap hari.

Anak semata wayang dari keluarga itu memang menyukai cokelat. Rambutnya panjang, hitam pekat. Matanya misterius, wajahnya seputih salju. Kau tahu–semua orang menyukai gadis dengan tatapan mata yang misterius. Di belakang rumah tersebut ada sebuah sumur tua yang turun temurun dipakai oleh mereka. Sekali-dua kali, gadis itu yang akan mengambil air di sumur. Mengambil air, menarik tali, membuat ia merasa tenang, seperti terapi kecil untuk menyegarkan pikirannya.

Hari ini tidak begitu spesial. Para pembantu yang berlalu lalang, pemandangan suntuk yang dilihat oleh si gadis tersebut. Ia mengambil cokelat berbentuk bola-bola dalam wadah yang terlihat sangat mahal, kotak kayu berkelir emas. Rasanya enak, batin gadis itu.

"Kemana ibu sekarang?" si gadis menahan laju seorang pembantu perempuan, menahan lengannya. Si pembantu menggeleng pelan. Si gadis menghela nafas. Ia menyisir rambut panjangnya perlahan.

Pintu rumah itu diketuk kencang, beberapa pelayan hendak membuka pintu, namun dihentikan oleh acungan tangan si gadis. "Biar aku saja," ujarnya. ia mengangkat ujung gaunnya, berjalan.

"Apa ada yang bisa kubantu?" tanyanya. Si pengetuk pintu menangis tersedu, "Ibumu telah tiada, beliau ditemukan keracunan di kota sebelah.." ucapnya.

Si gadis mengatupkan rahangnya lemah, tubuhnya limbung, salah seorang pelayan pria menahan tubuhnya, memegangi tangannya. "Apa nona baik-baik saja?" tanyanya pelan. "Bagaimana aku bisa baik baik saja! Pikirkanlah! Ibuku.." si gadis menangis terisak.

...

Kematian ibunya bukannya membuat si ayah berduka, malah murka. Bagaimana bisa istriku berada di kota sebelah tanpa sepengetahuanku! Apa yang dia lakukan disana! Ia berseru-seru. Berusaha melupakan istrinya cepat cepat.

Si gadis hanya bisa terisak menyaksikan tubuh ibunya berada di peti putih yang diukir indah. Hanya bisa meratap luka, mengenakan gaun pemakaman paling gelap di antara para tamu lainnya.

Ayahnya menghilang setelah upacara pemakaman itu, tak ada yang tahu kemana perginya sang ayah. Seseorang, berusaha membantu si gadis. Mengirimkan surat pendek berisi kata-kata motivasi. Tak ada yang tahu siapa dia hingga saatnya tiba.

Jauh disana, sang Ratu mendapatkan cermin ajaib dari penyihir tua di desa gelap, jauh di bawah tanah. Cermin itu bisa berkata jujur.

Sang Ratu bercermin. Rambutnya bergelombang berwarna hitam. Gaunnya berwarna hijau pastel, dipadukan dengan hitam dan sedikit ornamen berwarna merah. Penampilannya sangat apik, seperti gadis yang diimpikan semua orang.

Ia tersenyum.

"Wahai Cermin Ajaib, siapakah gadis paling cantik di seluruh kerajaan?" tanyanya dengan senyuman lembut. "Tentu anda, yang mulia." Ucap sang cermin. Si Ratu tersenyum lebar.

𝐒𝐇𝐄 𝐖𝐈𝐒𝐇 𝐄𝐕𝐄𝐑𝐘𝐁𝐎𝐃𝐘 𝐂𝐎𝐔𝐋𝐃 𝐃𝐈𝐒𝐀𝐏𝐏𝐄𝐀𝐑 * ˚ ✦Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang