AYRA POV
Hari Senin ini sepertinya tidak terasa menyenangkan.
Aku tiba dalam keadaan atribut tidak lengkap pada saat kawan seangkatanku dan para kakak kelasku sudah berbaris rapih di lapangan utama.
Mau tidak mau aku harus mengambil baris baru, memisahkan diri dari mereka semua yang taat terhadap aturan.Panas Terik Matahari menusuk sampai epidermis terdalam.
Jujur saja ini terlalu panas, terlebih kepalaku sama sekali tidak dilapisi apapun.Tepat saat kakiku terasa lemas, keseimbangan yang aku miliki pun perlahan melemah, samar samar ku lihat penglihatanku memburam hinggah pada akhirnya semua itu tertutup bayangan hitam, dan kesadaranku sedikit demi sedikit menghilang.
***
Kalau kalian berpikir aku akan ditolong dan dibawa ke UKS oleh pangeran sekolah yang berparas rupawan kalian salah besar, karena nyatanya pada saat aku terbangun dari tidur dadakanku itu.
Hal pertama yang dapat kulihat hanyalah dahan pohon ketapang yang saling bersinambungan.
Entah siapa yang sudah mengangkat ku ke sini, ah tidak-tidak, mungkin mereka menyeretku karena di hadapanku ada bekas seretan di tanah berpasir. Siapapun itu aku tetap bersyukur dan merasa berterimakasih karena berkatnya aku bisa berada ditempat yang lebih berteduh, jika dibandingkan dengan tempatku tadi, ini jauh lebih layak.Aku bangkit sembari menepuk nepuk baju serta rokku yang kini cukup berdebu, berharap debunya bisa berterbangan dan bajuku dapat terlihat bersih, semoga.
Aku menyandang tas lusuh yang selama ini menjadi saksi betapa keras aku berjuang dalam meninba ilmu pengetahuan.
Mencoba berjalan ke arah kelasku yang sesungguhnya sangat membuatku merasa tertekan, bahkan hanya dengan mendengar nama kelas itu atau pun hanya sekedar nama siswa/siswi didalamnya aku akan merasakan hal yang sangat menyesakkan, tapi mau tidak mau aku harus menguatkan diri untuk tetap bisa belajar guna menjamin masa depanku kelak.Langkah kakiku kini menapak di koridor kelasku, terdengar riuh gemuruh para siswa didalamnya, namun ketika aku memasuki pintu kelas, keadaan tiba tiba menjadi hening, mereka semua diam dan mengalihkan semua atensinya padaku, samar samar ku mendengar bisikan, mereka saling berbisik yang tak lain dan tak bukan hanyalah berupa cibiran serta hinaan yang ditujukan padaku, aku memang tidak mendengarnya dengan jelas, namun ekspresi mereka memperjelas semuanya, lagi pula ini memanglah kebiasaan mereka setiap aku tiba disini.
Aku duduk dibangku tempat dudukku yang berada di sudut kiri paling belakang, disini cukup gelap dan banyak nyamuk karena posisinya yang memang bersebelahan dengan tempat alat kebersihan kelas.
Jika kalian bertanya mengapa aku bersekolah disekolah biadap ini,maka jawabannya sangat sederhana. Aku tidak punya pilihan.
Yah,aku tidak memiliki uang untuk bersekolah disekolah yang layak. Sekolah ini adalah satu satunya sekolah yang menerimaku dalam jalur beasiswanya, hal itu dikarenakan nilai ku yang sangat minim dan kecerdasan yang kumiliki sangat pas-pasan.
YOU ARE READING
LINDAP
Non-Fiction• • • Cercahan perjalanan hidup yang terukir asam dalam alur cerita tanpa kejelasan. Penggalan kejadian demi kejadian kembali digali dari inti memori terdalam. Mengais lagi ingatan usang yang telah lama dibuang dan dilupakan Membuka luka lama setel...