HANAMI

1 0 0
                                    

Aku nggak bisa tidur. Dari semalam kepikiran jodoh mulu, deh. Kapan aku menemukannya?

Setelah kupastikan centang terhitung dua, segera kumasukkan dalam saku celana training. Perlahan menghirup sejuknya angin musim semi dan mengembuskannya seperti melepaskan segala pikiran buruk tentang kehidupan yang aku sendiri tidak tahu ke mana tujuannya. Kubuka pintu apartemen, menuruni tangga dan berakhir di trotoar depan gedung.

Aku siap berlari.
Seperti biasanya, setelah separuh tubuh matahari menyapa bumi, kusempatkan berolahraga lari. Agar terpikirkan hal-hal yang berbeda, setiap hari aku berusaha mengambil rute yang berlainan. Namun, pada kenyataannya selalu terpikirkan hal yang sama.

Kakiku dengan betis sekeras paha ayam jago aktif mengayun, menapakkan telapak kaki beralaskan sepatu yang kubawa terbang dari Indonesia ke Jepang. Sebenarnya sepatu ini kubeli sehari sebelum keberangkatan ke Negeri Matahari Terbit, semoga awet sampai aku kembali lagi ke rumah paling nyaman.
Aku melangkah ke sebuah jalan yang biasa dilewati menuju kantor tempatku bekerja. Tergesa-gesa menata koran ke atas motor dan mengantarkannya ke ratusan rumah serta gedung-gedung apartemen. Di sanalah aku menyadari bahwa betis kekarku sangat bermanfaat untuk menjagaku tetap kuat naik turun tangga dan berlari sana sini. Meskipun aku pernah beberapa kali merasa kram kaki di musim dingin.

Aku jadi teringat tentang kebaikan seseorang di malam yang larut saat musim dingin. Hari itu aku sangat lelah setelah seharian membantu teman yang pindah apartemen dan mengharuskanku jalan kaki dari halte bus ke tempat tinggalnya, sedangkan langit sedang pesta salju. Pulang menjelang pukul 09.00 malam. Aku hanya sempat istirahat dua jam sebelum berangkat bekerja. Kakiku jadi kram.

“Kok sampai lupa bawa hot pack, sih!” keluhku. Saking lelahnya, aku lupa mempersiapkan diri.

Dengan tangan yang dingin, aku mampir ke minimarket. Namun, barang yang kucari habis terjual karena cuaca yang sangat dingin. Seketika tubuhku melemas. Keluar dengan betis yang agak sakit.

Tiba-tiba, seseorang yang duduk di bangku depan minimarket itu berdiri dan menepuk pundakku. Ia memberikan sebuah kantong plastik padaku. Aku menyipitkan mata, bermaksud menanyakan apa maksud dari kantong plastik itu.

Kutatap wajahnya yang remang-remang oleh bayangan. Topi hoodie yang menutupi kepalanya menambah kesan gelap. Segelap warna hoodie-nya.

“Maaf, apa ini?” tanyaku.

“Yang kamu butuhkan,” jawabnya dengan suara berat dan bahasa Jepang yang bisa aku mengerti. “Hati-hati!” ucapnya lagi sebelum berlalu dariku yang masih menatap kantong plastik.

Aku segera membukanya sebelum orang itu hilang dari pandanganku. Ternyata isinya beberapa hot pack dan sesuatu semacam koyok. Aku melangkah menyusul lelaki itu, dan segera berhenti tepat di depannya sehingga membuat ia hampir saja menabrakku. Dengan segera kuambil satu hot pack dan sebungkus koyok.

“Terima kasih! Aku hanya membutuhkan satu,” ucapku sambil menggantungkan kantong plastik itu di tangannya yang dingin.

Aku hendak berlari ke tempat motorku berada. Tiba-tiba dia menahan lenganku seraya berkata, “Kamu lebih membutuhkan ini. Nanti akan turun salju, jadi jaga dirimu tetap hangat!”

Kantong plastik itu berakhir di tanganku lagi. Kubuka sling bag untuk mengambil uang, tetapi hanya kartu identitas dan surat izin mengemudi yang aku bawa. Ketika kembali menatap ke depan, laki-laki ber-hoodie  hitam itu menghilang.

Memang hari yang berat saat itu. Namun, Tuhan hadirkan orang yang membantuku.

Aku mengambil rute baru yang membawaku tiba di sebuah jalan yang penuh sakura. Bunga yang hanya mekar di awal musim semi itu terbang tertiup angin jatuh ke sungai di seberang, membuat terusan air itu menjadi bagian yang tak kalah menarik. Aku memandanginya takjub. Rute kali ini tidak salah lagi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 30, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang