2.

4.1K 815 248
                                    

***

Semua gara-gara Reuni dadakan lepas syukuran anak kedua Yuki. Riri sampai heran, dari kecil hobi sekali Yuki ini membuat ia iri sampai keubun-ubun?

Dulu adik, sekarang ... anak?! Tidak! Calon suami saja ia tak punya.

Sebenarnya bukan berarti Riri lelah menjomblo di usianya yang terbilang cukup matang untuk menikah. Mengurus 30 anak berbeda tiap tahun di sekolah saja ia sudah cukup pusing.

Riri juga tak mempermasalahkan perihal jodoh yang belum datang, karena Riri yakin akan ada waktunya. Toh saat ini si kembar masih kuliah menuju tingkat akhir, dan Riri masih harus memperhatikan mereka setidaknya sampai mereka lulus. Juga, cita-citanya untuk menjadi kepala sekolah masih belum tercapai.

Jalan Riri untuk mengikuti jejak mendiang ibu masih panjang. Dan Riri ini sejak kecil memang dinilai sebagai tipe orang yang ingin mencapai apa yang ia mau terlebih dahulu sebelum memiliki mimpi yang lain. Yah, dia benar-benar fokus pada tujuan utamanya.

Hanya saja, setelah ke rumah Yuki kemarin Riri mulai dihantui dengan ucapan teman-temannya perihal 'perawan tua'. Awalnya Riri tak peduli akan hal itu, namun selama perjalanan pulang apalagi setelah mendengar curhatan Ardan yang mulai lelah menjomblo, Riri rasa mungkin ia harus mulai membuka hati.

Namun, hati Riri telah lama patah akibat penolakan dari cinta pertamanya di perkuliahan dulu. Mengingatnya saja membuat Riri kembali sakit hati sekaligus malu.

"Gue lupa ya ampun, emang lo diapain cinta pertama lo, Ri?" tanya Yuki, membuka topik baru sekaligus luka lama dalam hati Riri selepas acara syukuran selesai sore itu.

Riri masih lengkap dengan seragamnya karena baru datang di tengah acara lepas mengajar. Sekalian di jemput Ardan dan meminta adiknya itu mengantar ke rumah Yuki. Karena dari keempat adiknya, hanya Ardan yang tak mudah bosan di ajak bertamu. Yah meskipun terkadang dia membuat rumah tamu berasa rumah sendiri.

"Lah padahal lo yang duluan di curhatin Riri," timpal Kana melirik Riri bermaksud mewakilinya untuk menjawab. Habisnya Riri hanya diam dan fokus menepuk-nepuk pelan kaki kecil bayi Yuki. "Di tinggal nikah, kan Ri?"

"Lah? Ditolak dulu bukannya?" Yena menimpali.

"Bukan ..." Akhirnya Riri bersuara.

Yena mendekat. "Ceritain kronologisnya dong, Bu Guru! Kita kan beda kampus dulu!"

Riri menatap ketiga temannya, kemudian menghela napas pasrah. Jikapun ia enggan bercerita, teman-temannya pasti akan mendesaknya. "Ini masih semester tiga kalau gak salah. Gue kan naksir dia dari jaman maba pas sekelompok OSPEK. Terus, gara-gara mantan pacaranya Yuki yang sekarang jadi suami, curhatan gue yang suka sama dia nyampe ketelinganya dan dia tiba-tiba chat ngajak ketemuan."

"Terus-terus kalian ketemuan?"

"Gak. Gue masih sayang jantung."

"Iya, penikmat cinta dalam diam mah beda."

"Lanjut dong, Bu guru!"

"Karena gue gak mau ketemu, tau-tau besoknya dia nyamperin pas beres kelas Bahasa Inggris."

"Oh iya gue inget yang itu! Dia tiba-tiba narik tangan lo ke kantin, kan?" Timpal Yuki mulai ingat.

Tentu saja harusnya Yuki ingat, mereka berteman sejak TK dan bahkan selalu berada di sekolah yang sama hingga perkuliahan. Meski beda kelas, namun persahabatannya dengan Yuki sangat langgeng bahkan hingga wanita itu punya dua anak.

Riri mengangguk. "Dan waktu itu, gak ada angin gak ada ujan dia langsung bilang gini, 'Jangan suka sama gue, Ri. Gue punya tunangan!'. Gila gak tuh? Gue confess aja belom udah ditolak duluan!"

TetehTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang