***
Setelah bel berdentang ruang guru seketika menjadi sepi. Hanya tersisa Riri seorang dan Bu Sania yang notabenenya petugas TU. Hari ini ia tidak ada jadwal mengajar pagi di kelas manapun, anak-anak kelas 1 juga tidak punya banyak tugas dan semua yang seharusnya Riri kerjakan sudah selesai. Bahkan sampai merangkum materi hingga semester depan.
Mungkin ada benarnya apa kata Aldi, akibat terlalu rajin dengan tugas-tugasnya bahkan sebelum deadline pun Riri sudah menyelesaikannya. Akibatnya, ketika luang tiba tidak ada yang bisa ia kerjakan selain membaca beberapa tulisan muridnya yang masih belum rapi.
"Anak kelas 1 ikut lomba seni antar kelas gak, Bu?" sahut Bu Sania tiba-tiba.
Riri menoleh pada wanita hamil itu. "Kurang tau ya Bu, kalau Pak Ode nemu yang berbakat pasti dia bilang ke saya."
Bu Sania melirik jadwal di kertasnya. "Sekarang pelajarannya Pak Ode di kelas 1, ya? Kenapa Bu Riri gak ke sana aja dan ikut kasih masukan. Siapa tau taun ini anak kelas 1 bisa tampil juga di lomba seni, syukur-syukur kalau bisa sampai ikut ke pentas seni daerah."
Riri menggeleng. "Takut ganggu fokus anak-anak, biar mereka belajar aja!"
Tidak. Sebenarnya akhir-akhir ini Riri berpikir ulang untuk tampak terlihat dekat dengan Ode di depan anak-anak. Bukan hanya karena mereka yang sering menjodohkan ia dan Ode, hanya saja semakin kedua korban bersikap santai di depan anak-anak, semakin sering pula mereka mengodanya bahkan terkadang sampai di bawa ke kelas.
Saat ini ia mungkin biasa saja. Tapi, masalahnya ia jomblo dan anak dari sahabatnya bahkan adalah muridnya sendiri. Nanti bagaimana jika Riri berubah pikiran dan tiba-tiba jadi baper karena hasil comblang anak-anak satu sekolah?
Duh, jangan dulu! Meskipun kemana-mana harus diantar si kembar, Riri masih betah kok!
"Yaudah kalau gitu bantuin data tabungan anak-anak hari ini! Aku pengen makan soto!"
"Tadi bukannya baru makan nasi kuning sama saya, Bu?"
"Ibu hamil emang bawaannya gini, pengen makan terus! Ntar juga kamu ngalamin!" kekeh Bu Sania bermaksud menggoda.
Namun Riri sudah kebal, jadi ia hanya menanggapinya dengan senyuman dan mulai melakukan tugas dadakan yang Bu Sania beri. Yah, daripada ia menganggur kan?
Setidaknya hampir satu jam pelajaran Riri habiskan dengan mencatat tabungan anak-anak, Ruang guru juga sudah tidak sepi karena anak kelas 1, 2 dan 3 akan segera istirahat. Dan Riri juga harus bersiap memantau anak-anaknya setelah mendata yang terakhir.
"Bu Riri!" suara Ode menghentikan aktivitas Riri. Membuat gadis itu menoleh dan menatapnya yang kini duduk di kursi depan meja Bu Sania.
"Kenapa, Pak?"
"Punya nomor Ayahnya Lea?"
Kening Riri mengernyit, sedikit bingung. Kenapa Ode bertanya soal nomornya Malik?
"Ada."
"Boleh kirim ke kontaknya ke saya, Bu?"
"Tapi saya harus izin sama yang punya nomor dulu. Bapak minta ke Bu Sania aja!"
Ode mendengus. Melirik pintu ruang guru sesaat dan sedikit mencondongkan tubuhnya pada Riri. "Bu Sania itu tipe ibu-ibu yang kepo banget, nanti malah nanya maksud dan tujuan saya."
Sebenarnya Riri agak tersinggung. Habisnya dia juga jadi ikut kepo begini jika Ode tiba-tiba minta nomor ayahnya Lea. Bukankah seharusnya jika itu berkaitan dengan Lea, Ode harus bicara dulu padanya? Bagaimana pun Riri adalah wali kelasnya yang bertanggung jawab pada Lea selama di sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teteh
General FictionTeteh bilang, meski Ayah sama Ibu udah gak ada di dunia ini, kita masih punya Teteh. Tapi, akan ada saatnya Teteh juga pergi ninggalin kita, kan? Cuman, sampai kuliah kita mau kelar, bukannya makin deket sama jodoh kok teteh malah makin deket sama k...