17 | Lukisan Bawang Merah

4.9K 928 16
                                    

Jendela kamar sudah Lilith buka lebar-lebar. Sebagai pengganti AC karena ia sedang berada pada level gerah tingkat tinggi. Ia juga sudah menambahkan empat lampu minyak dalam kamarnya. Sekarang Lilith tidak lagi akan tenggelam dalam keremangan kamar. Tidak lagi marah-marah nggak jelas karena digigit nyamuk tapi nggak tahu nyamuknya lari ke mana.

Sesekali nyala lampu akan bergoyang karena tertiup angin. Tidak masalah, selama bukan angin kencang.

Lilith menyandarkan diri di jendela sambil melihat indahnya hamparan bintang. Ah, ia rindu berkelahi dengan abang-abangnya. Ia rindu masakan ibunya, ia juga rindu teman-temannya.

Kapan ia akan pulang? Lagi pula Bawang Merah tidak pernah muncul lagi setelah hari itu. Dasar sok sibuk! Lilith doakan cepat pulang, agar ia juga bisa kembali.

Ia menghela napas, kemudian berjalan ke samping dipan. Di atas pembaringan itu ia sudah meletakkan kertas besar yang setiap ujungnya ia tahan dengan kayu.

Hari ini Lilith berencana untuk melukis Bawang Merah. Sebagai hadiah kenang-kenangan ketika ia telah kembali, semoga Bawang Merah mengingatnya dan ada sebagian dari dirinya yang tertinggal di sini.

Kabar buruknya, Lilith tidak tahu cara meramu warna menggunakan bahan alami. Ia pernah mencoba mencari umbi-umbian hasilnya ia tersesat di hutan, ia juga pernah menggunakan daun sebagai warna hijau, hasilnya bau dan jelek. Hingga Lilith menyerah. Ia tidak punya bakat di bidang ramu-meramu, yah ia bukan bagian dari nenek moyang yang hidup dengan alam. Ia bagian manusia modern yang hidup serba instan. Alhasil Lilith memanfaatkan arang kayu sebagai media untuk melukis. Kabar buruknya lagi, ia tidak punya penghapus.

Tidak apa-apa, biarkan saja lukisan Bawang Merah menjadi buruk rupa. Paling-paling gadis itu mengamuk dan Lilith tidak peduli.

"Aku harus bercermin kali ya? Oh melukis di samping cermin kayaknya bagus, deh."

Ia dengan cepat berdiri kemudian menyandarkan cermin ke dinding di depannya.

"Hai Bawang Merah." Lilith melambai. "Jadi hari ini aku mau melukis wajah kamu, tenang bayarannya gratis kok, soalnya aku baik hati, nggak kayak kamu yang ... yah, tidak usah disebutkan nanti kamu malu."

"Jadi aku mau bertanya, kamu mau dilukis dalam keadaan duduk atau berdiri?"

Suasana kamar lengang sejenak.

"Oke, karena kamu nggak jawab. Jadi aku putuskan kamu berbaring saja. Eh, jangan protes. Karena aku yang melukis, terserah aku ,dong! Tapi, karena aku baik, jadi aku buat kamu duduk saja."

Selesai bermonolog yang sebenarnya tidak ada manfaatnya sama sekali Lilith mulai menggores arang ke atas kertas. Tangannya tidak berani memberikan goresan tebal, ia takut salah. Berhubung Lilith tidak bisa membuat sketsa karena tidak ada penghapus, ia harus membuatnya sekali jadi. Dan ini tantangan paling menantang.

Saat pulang nanti, ia akan belajar melukis lebih banyak. Atau ia bisa menghadiahkan lukisan wajah pada setiap temannya di kelas. Akan lebih bagus jika wajah temannya dibuat meme saja. Pasti sangat menghibur melihat wajah kesal mereka.

Sesekali alisnya akan mengerut, kemudian ia akan lama menatap cermin lalu kembali melukis. Terus berulang seperti itu hingga ia mendapat gambaran utuh dari Bawang Merah. Namun, garisnya belum dipertegas dan belum ditambahkan arsiran.

"Wah, hebat juga. Nanti aku akan mencari uang jadi pelukis saja di sini. Bisa kaya raya nggak, sih?" Kemudian ia tertawa, lalu berdecak ketika merasakan angin bertiup sedikit kencang hingga membuat lampunya hampir padam. Tapi, gadis itu tidak peduli sama sekali. Lukisan Bawang Merah lebih menarik minatnya.

"Kamu cantik sih, tapi kenapa orang-orang selalu menganggap kamu seperti lalat pengganggu?" gumamnya sambil menyempurnakan lukisan Bawang Merah.

Lama, kamar itu hanya diisi keheningan. Lilith sibuk berkonsentrasi sehingga ia tidak menyadari ada seseorang yang sedari tadi memperhatikannya dari jendela kamar yang terbuka. Cukup mengangkat kepala, maka Lilith akan melihat orang itu dengan jelas.

"Wah!" Ia berseru, kemudian tertawa dan bertepuk tangan puas. "Aku memang berbakat."

Piala penghargaan di kamarnya tidak akan pernah berbohong akan bakat Lilith selama ini. Kalau ia pulang, pasti ia akan kembali menjadi juara pertama lomba lukis di sekolahnya.

Ia tersenyum menatap lukisan Bawang Merah dengan jarik batik lengkap dengan selendang tengah duduk anggun pada kursi kayu. Itu persis seperti penampilannya ketika ia datang menghadiri acara di rumah tetua adat.

"Yah, ini akan menjadi kenangan yang berharga."

"Memangnya kau mau ke mana?"

Lilith terlonjak. Hampir saja ia terjengkang ke belakang jika tidak berhasil menyeimbangkan badan.

Ia menatap tajam pada Demit yang duduk santai di atas jendela. Dasar jendela.

"Seharusnya aku tidak membukanya," gumamnya.

"Kau tidak punya sopan santun, ya? Kalau datang bertamu itu harus lewat pintu, ketuk pintu dulu, jangan asal muncul seperti ini. Dasar Demit!" Ia siap mendorong Demit jatuh dari jendela.

Demit menghindar dengan cepat, kemudian berdiri gagah di belakang Lilith. Matanya mengarah pada lukisan di tempat tidur.

"Kamu belajar melukis dari siapa?"

"Aku sudah bisa melukis sejak aku dilahirkan, kenapa? Keluar, cepat!" Ia sibuk meminggirkan lukisan kemudian menarik Demit lalu mendorong ke atas tempat tidur--mendekatkan pada jendela.

Demit menurut tanpa perlawanan, tapi ketika Lilith menyuruhnya keluar lewat jendela. Lelaki itu malah menjatuhkan diri dan duduk nyaman di tempat tidur.

Bagaimana Lilith mengusirnya? Berteriak? Itu bukan hal yang bagus. Ia hanya akan membangunkan seisi rumah dan Demit ini akan lari begitu saja. Masih baik jika hanya seisi rumah, bagaimana jika ibunya lebih panik dan membangunkan warga lain?

"Apakah kamu tahu kalau tidak baik mengunjungi kamar anak gadis orang malam-malam?"

"Anak gadis?" Alis Demit terangkat sebelah.

Lilith mengertakkan gigi, siap berteriak kesal jika tidak sadar ibu dan Bawang Putih sudah tidur.

Demit melihat ke samping dan Lilith dengan cepat mengambil lukisannya.

"Kamu belum menjawab pertanyaanku, kamu mau ke mana?"

"Aku?" Lilith menunjuk dirinya sendiri. "Ah, aku akan pergi ke tempat yang jauh. Tempat yang tidak ada satu pun dari kalian dapat menyusulku ke sana."

Tidak peduli perubahan ekspresi orang di depannya Lilith melanjutkan. "Tempat yang indah. Karena di sini sangat membosankan," ucapnya mendramatisir. "Kenapa? Kau mau ikut?"

Tidak ada sahutan dari orang di depannya. Lilith bersedekap dengan tidak sabaran. Ia sudah sangat mengantuk sekarang dan "hama" ini mengganggunya.

"Aku mengantuk, bisakah kau pergi sekarang?" tanyanya diakhiri dengan menguap lebar.

Demit tak bergeming.

"Maumu itu apa, sih?! Aku mengantuk dan aku sebagai pemilik kamar menyuruh kamu untuk pergi sekarang!" perintahnya dengan nada tertahan.

Lalu Demit menatapnya, lama sekali, hingga Lilith berdehem tidak nyaman. Mau orang di depannya ini apa sih?!

"Kau! Aku—"

Demit menghilang.

Lilith tidak kaget lagi sekarang. Mungkin ia sudah terbiasa. Cepat-cepat ia menutup jendela kemudian menguncinya. Entah apa yang membuat Demit yang mengaku bernama Nata—tapi Lilith lebih suka memanggilnya Demit—itu datang tak diundang dan pulang tak diantar seperti itu. Dasar Jelangkung.

Ia kembali menatap lukisan di tangannya. Ini adalah hadiah sekaligus kenangan yang indah. Bawang Merah pasti suka.

Menggulungnya dengan hati-hati, ia kemudian mengikat gulungan itu dengan tali. Setelah itu Lilith berbaring nyaman, siap menyelam ke alam mimpi.

***

Sementara itu Nata terdiam di atas pohon tepat di samping jendela Bawang Merah. Entah apa yang membawanya ke sini, ia sendiri bingung dengan perasaannya. Ia hanya ingin melihat Bawang Merah, tapi siapa menyangka jika pemandangan yang ditemuinya setelah sampai adalah Bawang merah yang selesai melukis potret dirinya sendiri. Mengatakan bahwa itu adalah kenangan. Bawang Merah akan pergi jauh.

Entah ia harus percaya atau tidak, tapi jika itu benar. Apakah Bawang Merah punya firasat kalau hidupnya tidak lama lagi? Dan kenapa Nata seakan tidak rela?

Bersambung ...

Bawang Merah & Bawang Putih [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang