him
Bisa datang ke rumah?
Ada yang ingin kubicarakan.Ada apa?
him
Aku ingin merayakan
hari akhir kita bersama.Kau bercanda.
him
Aku tidak pernah bercanda.
Temui aku di rumah.
Kamu terbangun ketika kilatan cahaya kilat masuk ke dalam alam mimpi. Matamu mengerjap sejenak sebelum meneliti sekitar. Otakmu yang baru saja beristirahat dipaksa bekerja, mencoba mengingat-ingat apa yang kau lakukan sebelum hilang kesadaran. Saat netramu bertemu dengan netra seorang lelaki yang duduk di sampingmu, seluruh ingatanmu kembali secara berurutan.
Dengan canggung, kau mengubah posisi dudukmu. Meskipun lelaki itu tak protes, tetap saja kau merasa tak enak sudah menjadikan bahunya sebagai sandaran kepala saat tidur. Sudah berapa lama kau tertidur?
"Film-nya sudah sampai pertengahan. Mau diulang dari awal?" kata lelaki itu sembari mencari-cari remote. Sepertinya kau memang terlalu asyik di dunia mimpi.
Kamu memerhatikan kekasihmu dalam diam. Bagaimana ia kesulitan merogoh sudut lipatan sofa, bergumam tak jelas hingga jemarinya menyapu helaian rambut sambil menghela napas frustrasi. Tak sadar bibirmu membentuk lengkungan samar, kekasihmu begitu lucu.
Akankah setelah hari ini kau bisa memanggilnya sebagai kekasihmu?
Seluruh pikiran itu buyar saat ia melempar senyuman. Kau membalas kikuk, berusaha keras agar otot-otot halus di wajahmu bekerja sesuai fungsinya. Namun kau yakin, senyumanmu tak mampu menyaingi sang kekasih yang terlalu benderang.
Ia melingkarkan tangannya di bahumu, menarikmu mendekat. Mencium puncak kepalamu sebelum mengalihkan atensi pada televisi. Tanpa sepengetahuannya, matamu meneliti isi ruangan. Lembar-lembar koran yang disobek maupun membentuk bola tersebar di lantai. Meja kopi di hadapan kalian penuh dengan bungkus cemilan terbuka lebar, gelas setengah penuh, dan botol-botol plastik kosong. Kalian berpesta semalam dan masih bersama hingga detik ini.
Lalu teringat malam di mana kau tergopoh-gopoh datang ke rumahnya. Kau sudah membaca pesan singkat yang ia kirimkan padamu. Merayakan hari terakhir kalian bersama, katanya. Kau ingin bilang dia gila, tapi melihatnya cengiran lebarnya yang terbentang dari ujung ke ujung, membuat amarahmu meredup.
Dan kau ikut dalam permainan bodohnya.
Akhirnya kau memandang televisi. Isi layar kotak elektronik itu terpantul di permukaan matamu dengan jelas. Namun seluruh atensimu tak terfokus pada jalan cerita film. Suara-suara para aktor kawakan hanya terdengar seperti lalat terbang di sekitar. Seketika rasa sedih membanjiri dirimu.
"Aku tidak mau lanjut menonton." Kau merajuk, menendang bantal tak bersalah yang tergeletak di lantai.
"Lalu?"
"Kita keluar saja, ya?"
Lelaki itu memandangmu lama. Kau bisa membaca emosi yang berusaha ia sembunyikan, oh tentu saja bisa! Sudah berapa lama kalian bersama hingga kau bisa menangkap gestur terkecilnya?
"Tidak di sini saja? Lebih nyaman."
"Di luar lebih cerah," sahutmu. "Aku ingin mengenang di tempat yang lebih cerah dan indah, bukan gelap-gelapan seperti ini."
Ia berdeham lalu mengangguk. Tanpa sadar kau mengembuskan napas lega. Setidaknya kau tidak ingin memulai perdebatan tak perlu hari ini. Seperti kata kekasihmu, ini hari terakhir kalian. Maka ia harus merayakannya dengan benar pula
KAMU SEDANG MEMBACA
Dekapan di Penghujung Waktu
KurzgeschichtenDia memintamu untuk datang. Kau datang. Dan kalian pun menghabiskan akhir kisah kalian bersama. angst | romance - oneshot/short story story © peachquartz | tifa cover © peachquartz