Story 1: Bad Day

2 1 0
                                    

Aku memang tampak seperti tak pernah peduli dengan apapun yang sekiranya tidak menguntungkanku. Tapi, hah.. itulah manusia. Mereka hanya bisa menyimpulkan hanya dari sudut pandang mereka, tanpa pernah mencoba untuk mengubah persepsinya ke sudut yang lain. Dalam pikiran mereka aku hanyalah gadis 18 tahun yang pemurung, suram, dan.. mungkin menakutkan. Sejauh itulah yang aku ketahui tentang diriku sendiri dari orang-orang disekitarku.

Yah, siapa yang peduli dengan apa kata orang. Aku cukup menyukai kondisiku saat ini. Tak ada yang akan repot-repot mengajakku untuk mengobrolkan cowok-cowok keren di akademi, sehingga aku bisa punya lebih banyak waktu untuk berurusan dengan game online di ponselku. Aku juga tak perlu repot-repot untuk tinggal lebih lama di sekolah hanya untuk mengikuti berbagai jenis klub. Itu sudah cukup merepotkan untukku. Mungkin secara gamblang aku bisa bilang jika aku sama sekali tak menyukai gagasan mengenai sekolah dalam hidupku.

Satu-satunya yang kusukai dari sekolah hanyalah perpustakaan. Dan bukan berarti aku suka membaca. Aku hanya menyukai kesan sepi dari perpustakaan yang jarang dikunjungi oleh murid-murid. Itu saja. Perpustakaan adalah tempat menyenangkan untuk menyendiri. Hanya sejauh itu kesukaanku akan sekolah, kurasa.

"Perhatikan langkahmu, mata sipit" George, si cowok raksasa yang otaknya tak ada bedanya dengan troll pastinya sengaja menabrakkan bahu bajanya kepadaku. Rutinitas paginya yang tak pernah ia lewatkkan. Dan seperti sebuah kebiasaan, aku hanya menatap malas ke George dan antek-antek raksasanya tanpa minat sama sekali.

"Bukankah hari ini cerah sekali? Cocok untuk berlatih meningkatkan IQ dan EQ mu" balasku. Nah, benar kan kalau dia itu bodoh.. si George mengerling bingung.

"Kau meledekku, hah!" George menarik kerah blus biruku. Aku jadi yakin kalau dia itu benar-benar keturunan troll mengingat tak hanya tubuh, otaknya juga hanya berisikan otot kurasa.

"Kenapa kau menganggapnya begitu?" jawabku santai. Aku tak mengalihkan tatapan jengahku padanya yang kini tampak memerah.

Dia menggerung marah "kau akan menyesal Asian bodoh" lagi-lagi George dan sikap rasisnya pada mataku. Sebenarnya selalu menyenangkan melihat mata berair dengan pupil hijau itu berkilat bengis. Atau bodoh? Entahlah, kebengisan dan kebodohan tak pernah lepas dari nama depannya.

"Kau sudah mengatakan hal itu sekitar 176 kali-oh atau 178? Aku lupa berapa tepatnya kau mengancamku dengan kata-kata itu setiap harinya selama 3 tahun ini Georgie.."

"Kau-" kepalan tinju sebesar buah melon itu sudah terangkat tinggi bersamaan dengan raungan keras yang menggelegar di koridor. George menghentikan tinjunya yang diarahkan padaku dan berbalik melihat siapa manusia yang berani menginterupsi eksekusi matinya kepadaku.

Glek! Aku meringis ngilu saat melihat sosok mungil bersanggul cokelat dengan blus dan rok selutut berwarna hijau lumut menatap lapar ke arah kami.

"Sepertinya kau menyukai detensi-detensiku Mr. Hammington. Baru kemarin kurasa kau menyelesaikan sortiran buku-buku tua di perpustakaan karena memalak anak kelas 1," Miss Anna, guru filsafat sekaligus wali kelas kami menatap garang George yang kini melepas cengkeramannya padauk melalui bingkai kacamata setengah bulannya.

"Ta-tapi miss.. saya hany-"

"Hanya merapikan kerah Miss Jennie? Baik hati sekali dirimu, Hammington. Ikut aku," Miss Anna berbalik dengan anggun diikuti oleh George yang berjalan lesu di belakangya.

"Kau akan menyesal Gregory," George bahkan sempat mengancamku dari balik bahu dengan suara desisannya!

"Anytime Georgie.. Aku sudah biasa kau sumpahi," balasku lalu berlalu menuju kantin. Tart caramel pasti sudah menungguku. Itu niat awalku. Namun tampaknya kemalangan menjadi nama tengahku untuk hari ini saat Miss Anna memanggil namaku.
*
*
*
Aku sudah biasa dengan budaya bully. Bisa dibilang aku adalah pakarnya bullying. Yah dalam konteks pengalaman ditindas sebenarnya. Mungkin hal ini terjadi karena kekerasan sudah mandarah daging di dalam hidupku. Aku yang notabennya seorang anak yatim piatu —entah sejak kapan aku mendapat gelar anak tanpa orang tua- mengharuskan untuk mampu hidup di tengah-tengah kondisi apapun itu. 6 kali pindah ke panti asuhan di wilayah New York bahkan sampai ke California, semua panti asuhan yang menampungku tak pernah bisa dikatakan sebagai tempat yang layak untuk hidup. Setidaknya untuk manusia.

Lost (Original cast version)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang