[8] Chapter Eight

2K 239 73
                                    

Halo, jadi gimana chapter kemarin? Nangis kah? :)

Siapin diri kalian buat chapter ini ya, karena ini cukup menyebalkan. Hoho

•Love From The Deepest Heart•

“Ever has it been that love knows not its own depth until the hour of separation

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Ever has it been that love knows not its own depth until the hour of separation.”
—Kahlil Gibran—

Sepuluh hari berlalu, Rose masih berusaha nerima kalau dirinya dan Jeffrey nggak lagi menjalani hubungan sebagai sepasang kekasih. Sejak pulang dari Rumah Sakit seminggu yang lalu, dia cuma berdiam diri di kamarnya sepanjang waktu, sesekali baca buku atau ngelihatin pemandangan di luar. Nggak ada yang istimewa.

Semua hal di rumahnya masih sama. Papahnya masih strict dan mamahnya masih suka menunjukkan kepedulian berlebihan—menjurus ke arah overprotective. Rose nggak mengungkit apapun tentang Jeffrey; pun mamahnya nggak menanyakan apapun tentang cowok itu. Keduanya bersikap seolah-olah Jeffrey Djuanda Bachtiar itu nggak pernah hadir dalam hidup mereka. Bahkan Ryan yang jelas-jelas udah tahu gimana hubungan Rose dan Jeffrey tetap memilih bungkam, tetap bersikap kayak dirinya yang selalu perhatian sama anak tunggal kolega bapaknya. Ryan ngebentuk Rose hampir tiap hari. Perempuan itu nggak nolak, mengingat ketika di rumah dia selalu diawasi ekstra ketat sama orang tuanya.

Hari ini juga Ryan kembali datang buat besuk. Dia bawain beberapa buah kesukaan Rose—sayangnya buah itu nggak dapat lirikan karena keadaan emosional Rose belum kembali ke tempatnya. Bahkan mungkin semakin pudar bersamaan dengan luka di hatinya yang nggak kunjung hilang. Ekspresi Rose dengan jelas menunjukkan betapa terlukanya dia saat ini, betapa kosong hatinya saat ini. Dia tahu kalau hatinya selalu menginginkan Jeffrey. Tapi Rose bahkan nggak tahu gimana cara ngasih tahu cowok itu. Sejak sakit, handphonenya ditahan sama mamahnya, dia nggak bisa ngehubungin siapapun. Rose cuma nerima telpon dari Raline lewat telpon rumahnya. Mereka nggak bisa ngomongin banyak hal karena dia selalu diawasi. Rumahnya lebih mirip penjara yang menyiksa alih-alih tempat paling nyaman yang bikin pikiran dan hatinya tenang.

“Kata mamah, kamu nggak sarapan lagi hari ini. Mau sekurus apa? Badan kamu udah kurus banget,” kata Ryan yang duduk di kursi belajar Rose. Orang yang diajak ngobrol berdiri di dekat jendela, ngelihatin keluar dengan tatapan sayu. Ryan narik napas dalam, berusaha menghadapi Rose dengan banyak kesabaran dan kelembutan. “Kamu mau apa?”

Rose mendelik bentar, lalu kembali lagi ngelihatin jalanan komplek di bawahnya. “Aku mau ke Bandung.”

“Ngapain ke Bandung? Kuliahnya juga lagi libur,” ucap Ryan masih dengan nada tenang yang sama. Dia emang pinter banget mengontrol emosi.

Scattered Heart ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang