Prolog

12 2 0
                                    

Emma meremas kuat blazer sekolah di tangannya. Bentuknya sudah tidak telihat rapi setelah pria yang berjalan di belakangnya ini memergoki dirinya di lapangan basket tadi. Peluh di mana-mana, rambut acak-acakan, dan legging yang biasa ia kenakan masih berbalapan dengan rok kotak-kotak di atas lututnya. Intinya, Emma tidak sempat berbenah diri.

Jantungnya kian berpacu bersamaan dengan beberapa pijakan terakhir menuju nerakanya.

Ugh! Emma mual.

“Stop!” sentak Emma tidak tahan, lantas berbalik. “Pak, bisa saya ke toilet dulu? Tolong, pak. Setidaknya saya harus rapi.” eww, Emma bersumpah ini akan menjadi kali terakhir dia memohon seperti ini.

“Pak Widjaja sudah menunggu, nona. Silahkan.” tangannya terlurur mempersilahkan gadis itu melanjutkan langkah.

Emma beberapa kali mengumpati sekretaris ayahnya di dalam hati. Dan sempat merencanakan untuk melompati railing tangga untuk melarikan diri. Sayangnya pemikirannya gagal tereksekusi setelah menyadari dirinya sudah berada di lantai teratas gedung sekolah ini. Melewati lorong sepi laboratorium yang terasa lebih menyeramkan dari biasanya, mengingat apa yang nanti mungkin akan diterimanya.

Harusnya Emma tidak usah masuk sekolah hari ini.

Emma melewati belokan terakhir sebelum bertemu dengan punggung lebar berbalut setelan hitam mahal khas kaum borjuis.

“Pak Widjaja.” ucap sang sektetaris menarik perhatian atasannya.

Emma berusaha menahan tangannya untuk tidak bergetar melihat sepasang pantofel itu berputar menghadap dirinya. Kepalanya hampir pening karena udara tercekat hanya sampai lubang hidungnya.

“Lihat saya!” perintahnya dengan suara yang dalam.

Seperti anjing yang sudah terlatih, Emma mengikuti perintah. Perlahan Emma memandang wajah pria paruh baya yang masih bisa dikategorikan pria tampan meski helai depan rambutnya sudah mulai memutih. Mata itu menyorot tajam, bibir itu menipis, rahang itu mengetat galak tanda dia sedang tidak senang.

Emma kenyang dengan ludahnya sendiri mendapati sang ayah yang meneliti penampilannya atas sampai bawah dua kali.

“Peringkat ke-23 dari 24 siswa.” ucapnya mengevaluasi laporan nilai semester di tangannya.

“Beri saya kesempatan.”

“Bentuk kesempatan seperti apa lagi yang kamu mau?”

Emma memejam. Sejujurnya ia juga tidak tahu kesempatan seperti apa lagi yang dia inginkan.

“Entah berapa banyak uang lagi yang saya keluarkan cuma untuk kamu yang bahkan tidak tahu bagaimana caranya belajar!”

Emma kembali terpejam, lebih erat sebab teriakan kali ini benar-benar memekakkan telinga. Ingin rasanya membalas bahwa dia juga tidak pernah meminta untuk diberikan les privat setiap harinya. Lagi pula peringkatnya membaik dari pada semester lalu. Meskipun masih berkutat pada angka 23 dan 24, tetap saja berubah, bukan? Kenapa Emma tidak pernah diapresiasi?!

Hanya saja Emma terlalu takut akan terlempar dari gedung ini jika berani mengutarakan protesnya.

“Maafkan saya …” Emma menelan ludah sebelum melanjutkan. “… ayah.”

Yang terjadi selanjutnya seperti yang sudah-sudah. Pipinya akan memerah semalaman akibat hantaman rapor di wajahnya. Tebal rapor jaman sekarang memperburuk rasa sakitnya. Sayang, keberaniannya sudah hilang sejak tadi barang untuk mengaduh saja. Membuang napas pelan adalah jalan terbaik untuk sedikit mengurangi rasa panasnya.

“Saya peringatkan, jika peringkatmu tidak naik 12 tingkat, jangan harap kamu bisa panggil saya ayah!”

Emma tertegun di tempat. Bukan karena ucapan ayahnya yang kelewat menyakitkan, melainkan 12 tingkat yang dibicarakan tadi.  Tidak tahu lagi bagaimana caranya naik 12 level lebih tinggi, sementara target semester ini pun tidak bisa dia lewati. Ini bukan anak tangga yang bisa didaki dengan kaki!

Munkin orang tua pada umumnya akan menerapkan hukuman penyitaan ponsel dan perangkat game terhadap anaknya yang ‘gagal’ menjadi siswa. Namun, Emma tidak habis pikir terhadap ayahnya justru akan menambah beban pada setiap kegagalannya.

Mereka sudah berderap pergi melanjutkan pekerjaan yang mereka tinggalkan hanya untuk memeriksa laporan semester yang tidak patut dibanggakan. Sementara Emma masih terpekur dengan posisi yang sama memandangi map biru bertuliskan nama SMA Nusa Bhakti menyentuh ujung sepatunya.

Tidak heran dunia begitu matrealistis. Nilai masih dipandang lebih berarti dari pada usaha.
Kaki Emma tidak bisa bertahan untuk tidak menendang map biru itu hingga terbalik dan terbuka mengenaskan di sudut pembatas lantai.

Tidak. Emma tidak menangis sekarang. Dia hanya kesal dan berlanjut menjambak rambutnya sendiri dan berputar-putar frustrasi sampai lelah sendiri.

Matanya menyalang ke bagian dasar, pada lapangan yang menjadi pusat kepungan gedung tinggi sekaligus sebagai tempat berkumpulnya para siswa pada hari Senin.

Hatinya mulai terasa perih kala melihat kejadian yang sungguh bertolak belakang dengan dirinya. Sungguh iri melihat sepasang ibu dan anak di bawah sana. Tidak ada lemparan, yang ada hanya belaian pada rambutnya. Tidak ada hardikan, yang ada hanya pujuan dan senyuman.

Emma tersenyum masam, apakah semua anak pintar akan mendapat belaian di kepalanya?

Tawanya membahana kemudian. Benar, dia kan memang tidak pintar. Dan anak yang tidak pintar akan mendapat tamparan dari rapornya.

Seakan belum cukup sial hari ini, namanya sudah kembali disebut hingga seantero sekolah menaruh perhatian.

“Perhatian, kepada Emma Amertha Widjaja kelas 2B Bahasa, harap menuju ruang konseling. Sekali lagi ….“

“Ahrgghh … bangsaaaattt!”

____________________

Hello! I'm back

Wah, setelah sekian lama, akhirnya hehehe

Cerita ini sudah ada di otakku sejak lama, tetapi karena sempitnya waktu, baru bisa kubagi sekarang.

Terima kasih sudah membaca. Aku harap kamu menyukainya 🤗

Please give me your like and comment, thank you💜

Spelling of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang