Emma benar-benar tidak mengingat hal baik selepas kejadian di lantai atas sekolah. Jatah libur pelajar selama dua minggu pun ia habiskan dengan mendengarkan ujaran tidak mengenakkan dari sang ayah. Yang membuatnya tidak mengerti, kenapa setiap libur semester, ayahnya juga tidak terlalu memiliki kesibukan sehingga memilih berkutbah setiap makan pagi dan malam.
Untuk yang satu itu, hati Emma cukup tahan untuk tidak selalu sakit hati sendiri. Tetapi jika selalu terkurung di dalam rumah, Emma hampir mengalami sakit jiwa. Masalahnya, dia jadi tidak bisa melakukan kesenangannya akhir-akhir ini—bermain basket.
Untuk itu, hari Senin yang biasanya Emma benci, berubah menjadi hari yang paling Emma cintai. Emma juga mulai mempertimbangkan untuk lebih menyukai sekolah dari pada rumah. Emma sudah meminta supir untuk berangkat pagi-pagi sekali hanya untuk mencegat siswa bernama Zidan di depan gerbang sekolah.
Hari ini semester ganjil dimulai, yang mana pasti banyak wajah baru nan polos masuk di SMA Nusa Bhakti. Emma mengamati mereka memakai pakaian hitam putih tanpa riasan atau atribut aneh-aneh lainnya. Dia manggut-manggut sendiri, setidaknya masa orientasi sudah lebih baik.
“Cepetan! Jam berapa ini?! Lelet banget, sih! Anak SMA masa masih gini!”
Baru saja Emma memuji, cowok berseragam OSIS sok disiplin berteriak di sisi gerbang yang lain. Emma tersenyum menyepelekan, ia berani bertaruh jika cowok itu bahkan tidak memiliki jiwa disiplin sama sekali untuk hadir pada setiap kelas. Yah, meskipun Emma juga seperti itu, tetapi setidaknya dirinya tidak semunafik kaum sok disiplin.
Kalau mau bolos, ya bolos saja, tidak perlu berlindung pada kata ‘rapat’.
Emma melihat jam tangannya, ini masih setengah tujuh. Terbilang aneh jika disebut terlambat.Semakin aneh saat melihat mereka menuruti perintah kakak seniornya untuk berjalan lebih cepat, bahkan ada di antaranya rela berlari. Emma berandai-andai, jika dirinya berada pada posisi siswa baru, pasti dia sudah terlibat masalah sejak hari pertamanya. Jiwa bar-barnya tidak akan membiarkan dirinya tertindas begitu saja meski berhadapan dengan kakak tingkat.
Untunglah, Emma tidak perlu mengikuti masa orientasi dulu.
“Eyooo! Wassap, my girl!”
Emma hampir terjungkal saat satu lengan merangkul dirinya. Siapa lagi jika bukan Zidan.
“Sampe lo.” ujar Emma setelah menyingkirkan lengan Zidan dengan elegan.
“Wohoo … lo nunggu gue, ya!”
Emma menatap Zidan bosan, “Kaya gue punya temen lain selain elo.” lantas berlalu terlebih dulu berharap Zidan mengerti dan mengikutinya.
Itu memang benar. Dari dulu Emma tidak memiliki teman lain selain Zidan. Cowok tinggi, berambut tebal sialan tampan ini selalu sedia mengekor kemana pun Emma pergi. Bukan karena ada perasaan tidak penting antara laki-laki dan perempuan, tetapi memang juga cuma Emma teman satu-satunya Zidan.
Lagi pula mereka sudah bersumpah, jika seandainya ada perasaan tidak penting itu tiba-tiba hadir di antara keduanya, maka dia yang memiliki perasaan akan terkena panu di bokongnya.
Zidan sedikit berlari menyusul Emma hanya untuk kembali merangkulnya. Pemandangan itu sudah menjadi hal biasa di kalangan penghuni sekolah, meski banyak dari mereka salah mengartikan persahabatan keduanya, tapi ya sudahlah, pendapat mereka tidak penting.
“Gimana kabar lo?” tanya Zidan basa-basi.
“Yah … gue masih hidup.” balas Emma apa adanya.
Emma kerap mendesis sepanjang lorong, sedikit risih sebab beberapa siswa baru berlarian dari arah belakang terkadang menyenggol tasnya, menyengol pundaknya sampai rangkulan Zidan terlepas, senggolan terakhir mengakibatkan dirinya terjerembab.
KAMU SEDANG MEMBACA
Spelling of Love
Teen FictionNamanya Emma Amertha Widjaja. Tidak tahu bagaimana mulanya manusia seperti dia bisa mendapat nama Widjaja sebagai simbol kebanggan. Padahal jelas, tidak ada yang bisa dibanggakan darinya. Manusia paling berotak udang yang pernah kutemui. Dan yang pa...