(b.) Senja Dan Rindu

113 17 0
                                    

———remake

Kecintaannya pada senja tak bisa tertandingi lagi, sejak hari pertama dirinya dipertemukan oleh seseorang, yang telak menjatuhkannya pada suatu perasaan yang indah—orang - orang menyebutnya jatuh cinta.

Itu sudah terjadi saat dirinya duduk di bangku kelas XII SMA, yah 3 tahun lalu yang berbekas hingga saat ini. Duduk di atas rooftop bangunan tua, di bawah langit oranye kegelapan, sudah menjadi hobinya sejak 3 tahun lalu. Matanya yang masih awas, dengan setia menatapi langit yang perlahan terangnya memudar, ditambah kicauan kelompok burung yang berimigrasi, menambah kesan indah untuk sore harinya yang sedikit muram hari ini.

Jelas saja, karena seseorang itu lagi-lagi tidak datang.

Lelaki berkaca mata nan tampan itu, mengembuskan napasnya perlahan. Ia menoleh ke arah sisi kanan sofa lapuk nan usang, yang biasanya menjadi tempat favorit pencuri hatinya duduk. Sudah dua minggu tempat itu kosong, sama seperti satu sisi di hati lelaki tampan itu yang terasa kosong dan hampa.

Singto, namanya.

Ia rindu. Rindu sekali, dengan pria cantiknya.

Singto bukan seorang anak senja. Ia tak terlalu minat dengan hal-hal yang berhubungan dengan alam, meski ia memang suka sekali ketenangan. Dulu baginya, kamarnya adalah  satu-satunya tempat yang bisa memberikan ketenangan untuknya.  Namun, 3 tahun lalu seorang lelaki cantik memperkenalkannya pada ketenangan yang sesungguhnya. Sampai saat ini hal itu masih menjadi favoritnya. Senja, ruang terbuka dengan dekorasi langit oranye yang dirancang sedemikian indahnya oleh Sang Pencipta.

Lelaki berkaca mata nan tampan itu beralih pada ponselnya. Memastikan adakah pesan dari seseorang yang ditunggunya. Namun, ternyata tidak ada. Pesan yang dikirimnya tadi malam masih menampilkan tanda ceklis satu, yang artinya pria itu sama sekali tidak membuka atau membaca pesannya atau bisa juga menandakan bahwa pria itu sedang offline. Helaan napas kecil lagi-lagi terdengar.

Sudah 14 senja ia lewati dengan begitu muram dan membosankan tanpa prianya.

Keyboard ponselnya kembali di tekan menghasilkan sebuah kalimat;


Masih tak ada kabar? Sore ini indah tapi sedikit muram, atau hatiku yang muram? Hahaha, cepatlah kembali, atau setidaknya balas pesanku saja. Aku merindukanmu, Kit.

Send.

Tanda ceklis dua terpampang saat sederet kalimat itu terkirim. Singto menghela napas lega, setidaknya itu menandakan, prianya sedang online.

Sepuluh menit kemudian, senyum tipis terbit di bibirnya, saat tulisan mengetik terlihat di roomchatnya. Dia membaca pesannya. Dengan harap-harap cemas Singto menanti balasan prianya, yang bernama Krist. Si lelaki cantik pencuri hatinya.

To Singto :
Hai! Maaf, lagi-lagi mengabaikanmu. Rindu sekali senja disana. Di Beijing sama indahnya, tetapi sedikit kurang, tidak ada kamu. Aku juga merindukanmu. Dua minggu terasa seperti dua tahun..

Singto tertawa lepas membacanya, seolah segala kekhawatirannya, rasa cemas, dan kemarahannya meluruh begitu saja membaca sederet pesan singkat itu. Lihat, bagaimana bisa Singto marah saat dirinya ditinggal tanpa kabar selama 2 minggu, dalam rasa cemas yang tidak berujung. Dan tiba-tiba entah kebaikan apa yang hari ini ia lakukan, pesannya terbalas dengan kalimat yang membuatnnya lagi-lagi merasa diterbangkan oleh kekasihnya.

Ponselnya kembali bergetar, nama prianya lagi-lagi muncul di notifikasi dengan pesan singkat yang mampu membuat Singto kembali tergelak.

To Singto :
Jangan senyum-senyum seperti idiot, aku tau kau sedang tersenyum bodoh membaca pesanku, hahaha.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 03, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

C A E L U MTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang