Pagi itu, Aiden bangun lebih pagi dari biasanya. Ia hanya duduk dan memandangi perapian sambil meraih tangannya mendekati perapian. Rasanya yang hangat menyelamatkannya dari udara yang sangat dingin di pagi itu. Tatapannya kosong, entah memang nyawanya belum terkumpul atau ada sesuatu yang ada di benak Aiden. Mungkin Aiden masih menyimpan rasa yang mengganjal di dalam dirinya. Atau masih ada tersisa sedikit serpihan rasa trauma yang mendalam. Lalu, tanpa disadari tangan Aiden meraih lebih dekat lagi ke perapian, sedikit demi sedikit. Tatapannya masih terlihat kosong.
Tak lama Leo pun terbangun dan ia terlihat begitu terkejut menyaksikan tangan Aiden yang jaraknya sedikit lagi akan terbakar. Tanpa pikir panjang, Leo langsung menggigit dan menarik kain baju Aiden. Aiden pun tertarik ke belakang dan ia sekali lagi terselamatkan dari bahaya berkat Leo.
"Apa yang barusan kau lakukan, Aiden?!" Leo menggeram dengan tampangnya yang begitu murka.
"Membakar tanganku..."
"Kau kehilangan akal sehatmu ya?! Kenapa kau melakukan hal itu lagi?! Apa yang ada di pikiranmu?!"
Aiden terdiam, lalu ia tersenyum dan mulai tertawa.
"Iya aku sudah gila! Memangnya kenapa!?"
Leo mendekat ke Aiden dan ia menundukkan wajahnya. Seketika rasa murka yang tadinya ada hilang begitu saja, yang ada hanyalah rasa ingin melindunginya.
"Kau tidak perlu menahannya sendiri. Kau bisa menceritakannya padaku, kau tahu kalau aku akan disini menemanimu."
Ada keheningan sementara setelah Leo mengatakan hal tersebut kepada Aiden.
"Kalau begitu...tolong ambilkan kotak pilku di dalam kamarku, Leo. Aku membutuhkannya sekarang juga.."
Leo langsung berjalan menyusuri kamar Aiden setelah mendengar perintah tersebut. Ia menemukan kotak pil tersebut terpajang di meja kecil di sebelah ranjangnya. Leo menggigit kotal pil tersebut dan kembali menghampiri Aiden. Ia kemudian menaruh kotak pil tersebut tepat di depan Aiden.
Aiden mengambil kotak pil tersebut dan mengambil 3 butir pil. Tanpa adanya bantuan minuman, Aiden langsung menenggak pil tersebut.
"Terimakasih..aku agak lebih tenang sekarang.."
Aiden memalingkan wajahnya.
"Mungkin sudah saatnya aku menceritakannya padamu, Leo."
"Keluargaku dulunya harmonis...tapi semenjak Ayahku dikeluarkan dari pekerjaannya dan bisnis bengkelnya hancur..keluarga kami jadi jauh dari kata harmonis. Ayahku berubah menjadi orang yang sangat kasar bahkan tega melakukan kekerasan kepadaku dan juga Ibuku...setiap harinya aku dan juga Ibuku disambut dengan kekerasan. Sampai akhirnya..-" Aiden terdiam sebentar dan tangannya terlihat gemetar, suaranya juga terdengar bergetar. Ia tampaknya masih belum kuat untuk menceritakan hal ini walaupun ia sangat ingin untuk menceritakannya. Trauma di dalam dirinya masih ada, cukup membuat luka yang sangat dalam hingga membuatnya seperti sekarang ini.
Aiden mencoba untuk menenangkan dirinya terlebih dahulu agar ia bisa melanjutkan ceritanya pada Leo.
"Sampai akhirnya aku mengetahui ternyata Ibuku dibunuh oleh Ayahku sendiri....aku...aku harus melakukan hal itu...aku harus membunuh Ayahku, Leo...aku sangat tidak tahan saat itu..."
"Aku tidak tega melihat Ibuku selalu diperlakukan seperti itu...diriku juga sudah tidak kuat menghadapi Ayahku itu....aku terpaksa harus membunuhnya, Leo..." Aiden lalu meneteskan air matanya dan terus meneteskan air matanya. Tangisnya terisak-isak. Mungkin baru pertama kali ini ia mengeluarkannya sampai seperti ini. Baru pertama kalinya ia menangis.
Leo mendekatkan dirinya ke Aiden.
"Kamu tidak salah, Aiden...kamu tidak salah.."
Aiden masih mengeluarkan tangisannya terus menerus. Memang, sudah terlalu lama ia menyimpan semua emosi itu sendirian.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
A Lone Wolf
General FictionSeekor serigala hitam lahir bertepatan dengan hari dimana terbunuhnya sang ayah dari anak serigala itu. Leo namanya. Leo merupakan anak satu-satunya dari tiga bersaudara yang memiliki bulu hitam warisan sang ayah. Namun naas, Leo terlahir cacat deng...