Perfection in Imperfection [1]

511 72 17
                                    

Rasa ini masih sama, sama seperti pertama kali aku bertemu denganmu.

.
.
.

Semburat siluet cahaya matahari terlukis di langit, menyinari jalanan dari balik awan abu-abu. Butiran putih yang mengguyur kota London sedari pagi membuat kota sepi dan membuat seluruh warga kota berpikir dua kali untuk melakukan aktivitas diluar rumah, terkecuali bagi mereka yang menyukai butiran putih dingin itu.

Salah satunya gadis berkulit kuning langsat yang  tengah duduk di halte. Dengan menggosok-gosok kedua tangannya lalu mempererat lilitan syal peach yang dia kenakan, dia berusaha berdiri dengan bantuan tongkat kruk di tangan sebelah kanannya.

Gadis itu berjalan perlahan diatas jalanan beraspal yang kini dipenuhi salju.

"Kalau saja kau ada di sini." keluhnya lalu membuang nafas dengan berat.

Setelah kurang lebih 10 menit dia menyusuri dinginnya jalanan, dia sampai di depan sebuah rumah berwarna putih.

Gadis itu memutar gagang pintu, "Assalamu'alaikum." ucapnya sambil kembali menutup pintu, lalu melepaskan snow boots hitam yang sedari tadi dia kenakan.

Seorang gadis kecil dengan balutan hijab merah berlari kecil menuruni tangga setelah mendengar suara salam.

"Wa'alaikumsalam." sahutnya, lalu melanjutkan, "Kak Canna darimana?" tanya gadis kecil itu.

Gadis bernama Canna itu menghampiri adiknya, "Cuma jalan-jalan." jawabnya sambil melepas syal dari lehernya lalu melilitkannya ke leher adiknya sambil tersenyum.

Gadis kecil itu menarik tangan Canna ke arah sebuah piano hitam di ujung ruang tamu, dengan perlahan Canna mengikuti adiknya itu.

"Mainkan aku sebuah lagu." pinta gadis kecil itu dengan manja.

Canna menarik piano bench hitam dihadapannya itu lalu duduk dan meletakkan kruknya di lantai. Perlahan jemari-jemarinya meraba tuts hitam putih di hadapannya lalu memainkannya dengan lihai sehingga mengeluarkan nada-nada indah.

Tanpa disadarinya butiran air mata menetes membasahi pipinya, membuatnya semakin dalam masuk ke dalam setiap nada yang dihasilkan tuts hitam putih yang dimainkannya.

Sentuhan dari sebuah tangan halus yang menempel di bawah pelupuk matanya membuatnya menghentikan permainan pianonya. Canna membuka matanya, berusaha mencari tau pemilik tangan yang mengusap air matanya itu.

"Dia sudah tenang disana. Jangan ditangisi." ujar pemilik tangan itu kepada Canna.

Air mata Canna semakin mengalir deras saat mendengar kalimat itu. Didekapnya sosok perempuan di hadapannya itu sembari menangis tersedu-sedu.

"Mengapa Tuhan tidak adil kepadaku?" tanyanya masih dengan tersedu-sedu.

Pemilik tangan itu melepaskan dekapannya dengan Canna dan memegang kedua pundak gadis itu.

"Tuhan itu adil sayang. Sudah 3 tahun kamu seperti ini. Kau tau, mama ikut sedih melihatmu seperti ini." ujar perempuan yang tidak lain adalah mama dari Canna sambil menyeka air mata dengan ujung jarinya.

Canna kembali mendekap erat mamanya dan kembali menumpahkan air matanya. Rasa perih di hati gadis itu sudah tidak dapat dibendungnya lagi. Selama 3 tahun dia hanya diam berpura-pura tegar semenjak lelaki yang sangat berarti dalam hidupnya itu pergi meninggalkannya.

Hai. Sorry sebelumnya karena cerita ini sempat aku hapus, soalnya kemarin masih amburadul banget, hehe.

Jangan lupa votements nyaa yaa

Perfection in ImperfectionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang