d u a;

121 25 3
                                    

Dia sangat menyukai angin, dalam waktu apapun atau bahkan dalam musim apapun.

Lee Minho—benar-benar menyukai hembusan lembut angin yang seolah-olah membelai seluruh indra perasanya. Rasa dingin yang menggelitik acap kali mengenai kulit putihnya, membuatnya seakan terbebas akan segala beban yang mengukung.

Angin—satu-satunya kebahagiaan yang tak dapat dibeli oleh berlembar-lembar uang. Salah satu kenikmatan yang didapatkan oleh hampir seluruh umat manusia di bumi secara cuma-cuma, suatu anugerah yang patut Minho syukuri sepanjang hidupnya.

Karena angin, membuatnya kembali merasa hidup.

Lupakan soal filosofi angin yang terkenal akan arti seseorang yang tak memiliki jati diri—datang tiba-tiba, entah dari mana asalnya, dan hilang begitu saja— secara harfiah, kebanyakan orang akan salah mengartikan makna dari angin itu sendiri. Para ilmuwan diberbagai bidang memiliki arti tersendiri dari kata angin, begitu pula dengan Minho—lelaki itu memiliki arti tersendiri untuk mendeskripsikan sebuah kata angin.

Dia, memiliki suatu kenangan tersendiri akan hal itu.

Kenangan yang membuatnya dapat berdiri kokoh hingga saat ini.

Kenangan yang memang sepatutnya hanya dapat ia kenang dan ia jadikan sebagai patokan hidupnya.

Kenangan dari sebuah keluarga yang hanya dapat ia kenang hingga detik ini.

Angin—memiliki tanda bahwa, Ibu dan Ayahnya masih tetap bersamanya, di sisinya, dan selalu mendukungnya kapanpun, selalu.

Biar bagaimanapun Minho tetaplah seorang anak laki-laki dari sepasang suami istri yang saling mencintai, membangun rumah tangga yang terbalut suasana hangat kental akan sarat manis dalam setiap kenangannya. Hingga takdir mengharuskan keluarga kecil itu hilang, menyisakan seorang anak laki-laki yang menganggap bahwa apa yang hilang darinya berubah menjadi hembusan angin.

Dan menjadi titik balik dari awal perjalanannya—

"Mau sampai kapan anda berdiri di situ, sajangnim?"

Minho berdecak sebal, menatap dingin seorang lelaki yang telah menghancurkan kegiatannya dalam menikmati semilir angin musim semi yang berhembus. Tidak bisakah dia membiarkannya senang sedikit saja? Dasar gila kerja, cibirnya dalam hati.

"Ya,ya... dan berhentilah memanggilku sajangnim jika kita sedang berdua seperti ini," Minho berjalan melewati Juyeon, mengabaikan kekehan kecil dari bawahannya itu.

Lee Juyeon— seorang pria berdarah Asia yang bekerja sebagai kepala direktur keuangan Lee Corporation, dan juga salah satu orang kepercayaan Minho. Karena lelaki itu yang tahu seluruh seluk-beluk dan teknik keuangan perusahaan, hingga segala sesuatu yang membuat sang CEO akhir-akhir ini tampak berbeda.

Juyeon memutar kedua bola matanya, tampak mengingat-ngingat sesuatu, "Jika kau benar-benar tidak ingin menemui Ratu lusa nanti aku bisa meminta Changbin merescedule jadwalmu, kau tampak sedikit kacau akhir-akhir ini."

Minho menghentikan langkahnya, sedikit berbalik hendak menatap lelaki yang berdiri tidak jauh di belakangnya, matanya menyipit sengit, "Apa maksudmu dengan Ratu?"

"Kau lupa? Ratu mengundangmu dalam jamuan makan malam lusa nanti."

Ratu? Mengundangnya dalam  sebuah jamuan makan malam? Lusa nanti?

Undangan? Oh, katakan ia bodoh jika ia melupakan sebuah undangan jamuan makan malam dari sang Ratu, tapi sungguh—ia benar-benar tidak tahu menahu soal ini. Bahkan ia tidak menerima undangan apapun dari beberapa hari yang lalu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 19, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

yugen. | minsungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang