Dua

81 5 1
                                    

"Tapi, Bu ... dia yang sudah bikin semuanya berantakan?" ucapku terbawa emosi ketika teringat kejadian itu. Semua masih melekat jelas di benak.

Ibu mendekat, membawa secangkir teh dan sepiring pisang goreng yang masih hangat dari meja makan. "Bagaimanapun dia itu bapakmu, Rauf."

"Rauf enggak sudi punya Bapak seperti dia, Bu."

"Nih, diminum dulu." Ibu memberikan teh hangat padaku. "Husst, tidak baik ngomong seperti itu."

Setelah menerima minuman hangat tersebut, aku menyesapnya pelan, membiarkan rasa khas teh hijau berkumpul di mulut.

"Biarkan masalah ini cukup memutuskan hubungan kami sebagai istri dan suami. Karena bagaimanapun, darahnya tetap mengalir pada dirimu, Nak. Maka pergilah untuk Ibu, atas perintah ibumu, bukan bapakmu."

Aku hanya diam. Kali ini kenikmatan pisang goreng telah memenuhi mulutku. Tiba-tiba ada gejolak di dada ini untuk pergi. "Nantilah, Bu, Rauf pikirkan." Aku berdiri sambil mengambil dua buah pisang goreng lalu menuju kamar.

***

Setelah menimang-nimang di dalam kamar. Aku memutuskan untuk pergi. Berangkat memenuhi panggilan laki-laki itu karena tidak ingin mengecewakan Ibu, itu saja. Karena hanya dia satu-satunya yang kumiliki. Sebelum berpamitan, aku meminta alamat tempat tinggal mantan suaminya. Setelah melihat kertas yang diberikan Ibu, ternyata sekarang laki-laki itu tinggal di pinggiran kota.

Kurang lebih 60 km dari rumah, jarak yang bisa ditempuh dalam waktu kurang lebih 90 menit. Aku pun segera mengeluarkan motor, terdengar ucapan Ibu untuk membawa oleh-oleh. Tak sudi membawakan apa pun untuk lelaki itu! Segera kunyalakan mesin motor lalu menarik gas sepeda motor ke luar dari halaman rumah.

Langit sangat cerah, cuaca seakan mendukung pertemuan ini. Ada perasaan canggung bercampur sedikit amarah yang kurasakan. Sebab, kira-kira sudah sepuluh tahun aku tidak bertemu dengan laki-laki itu, terakhir ya saat sidang perceraian mereka.

Kularikan motor ngebut, karena aku berharap hari ini segera berlalu, cepat sampai dan cepat juga pulang. Satu-dua truk bahkan bis tersalip, aku pun memilih melewati gang-gang kecil guna memotong jalan, menjadikan jarak tempuh lebih dekat.

Tidak terasa aku memasuki desa tujuan, segeraku mematikan mesin motor. Pada seorang bapak yang sedang menggiring itik di pinggir jalan, aku menanyakan kepastian alamat. Sudah cukup jelas mendapatkan keterangan, aku melanjutkan perjalanan kembali. Hamparan sawah nan hijau menyambutku, dan beberapa hewan ternak pun terlihat sedang merumput. Memberikan kesegaran mata ini.

***

Sampai di sebuah rumah yang sesuai dengan alamat yang dimaksud. Aku turun dari motor, entah kenapa hati ini berdebar begitu kuat. Kuketuk pintu, tampak sepi, hanya terdengar suara serangga yang bersembunyi di balik pohon. Kucoba mengetuk lagi. Akhirnya ada suara perempuan dari dalam.

Potongan memori kelam beberapa tahun silam, secara otomatis tayang di benak ini. Aku sebisa mungkin berusaha untuk tetap tenang. Pintu pun terbuka, kami saling tatap beberapa saat.

Terlihat raut wajahnya kaget melihat kehadiranku. Orang yang dulu pernah memergokin mereka bermain dalam hubungan gelap. "Rauf, terima kasih sudah mau datang, silakan masuk," ucapnya dengan suara bergetar.

Aku memasuki rumah yang bisa dibilang sederhana, di ruang tamu hanya beralaskan tikar pandan. Melihat keadaan sekeliling ada sedikit kebahagiaan di hati ini. Perempuan tersebut justru mengajakku ke dalam. Secara pelan aku membuka tirai yang menjadi pembatas antara ruang tamu dan ruang tengah.

Terlihat seorang pria terbaring lemah di atas ranjang, "Rauf," ucapnya lirih.

Aku masih berdiri di ambang pintu.

"Bapakmu lumpuh dua tahun ini," jelas perempuan yang kini menjadi istrinya.

Sorot mata laki-laki itu, sedikit pun tidak membuatku iba. Hukuman ini pantas dia dapatkan, atas apa yang telah dia lakukan.

"Maafkan, Bapak," ucapnya sangat pelan.

Aku sengaja diam, membiarkan kata maaf menguap begitu saja. Namun, kata yang sama terucap kembali. Tapi percuma, hal tersebut tidak akan menjadikan keadaan kembali seperti semula. Namun, melihat keadaannya begitu memprihatinkan membuat hatiku lebih bisa berdamai.

"Ya," ucapku kemudian meninggalkan ruangan itu.

"Rauf," panggil istrinya kemudian menyusulku, "Apa kamu tega membiarkan bapakmu seperti itu?"

"Tega? Kamu bicara soal tega? Sudahlah, setidaknya aku sudah mau memaafkannya. Waktuku terbatas dan aku harus kembali ke kota."

Aku meninggalkan rumah itu dengan hati tenang. "Semoga hari-hari kalian bahagia." Aku tersenyum penuh kemenangan.

Pulang dengan TenangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang