Satu

108 10 1
                                    

Cuaca hari ini cerah sebenarnya, setelah tadi malam hujan mengguyur kota ini dengan serius. Namun, ketika Ibu membicarakan soal bapak, aku kehilangan segarnya udara pagi ini.

"Pergilah, Nak, ndak papa," ucap Ibu untuk kesekian kali.

Aku hanya menghela napas. Masih terlalu fajar untuk membahas semua ini. Dengan tangan yang tetap sibuk, serta mondar-mandir, bahkan Ibu sempat-sempatnya memberi ruang di pikirannya akan hal yang teramat pahit untuk kubayangkan. Entah, aku masih begitu sulit untuk berdamai, bahkan potongan kelam itu masih begitu lekat di ingatan.

***

"Itu siapa, Pak?!" tanyaku penuh amarah begitu melihat seorang perempuan keluar dari kamar, bertepatan di saat aku memasuki ruang tamu karena pulang sekolah lebih awal. Pandangan kami sempat bertemu, sebelum wanita itu tertunduk meninggalkan rumah. "Jawab, Pak!"

"Kamu anak kecil enggak usah ikut campur!"

Bukan sebuah jawaban yang kudapatkan, melainkan kalimat yang justru membuatku semakin murka. "Ibu bekerja di pasar! Dan Bapak malah enak-enakan main dengan perempuan lain! Dasar gila!"

"Anak kurang ajar!" Kalimat tersebut terlontar bersamaan dengan lemparan guci kecil yang diambilnya dari meja.

Guci itu tepat mengenai sisi kanan kepalaku. Sekejap pandangan menghitam, disusul nyeri membuatku sedikit merintih. Aku hanya terdiam sambil memegangi kepala, terasa benda cair mengalir. "Dasar manusia bejat!"

Aku pergi dari rumah membiarkan darah mengucur. Beberapa pasang mata memandang penuh tanya, ingin tahu apa yang terjadi. Namun, dengan cepat mereka membuang muka—pura-pura tidak mau tahu—ketika sadar aku ke luar.

Sepuluh tahun, bukan waktu yang lama untuk menghapus semua itu. Aku juga yakin, luka itu bahkan masih basah di hati Ibu. Meskipun dia terlihat begitu tegar. Senyumnya tidak pernah hilang seakan-akan semuanya baik-baik saja.

"Astaghfirullah, Rauf. Kepalamu kenapa?" Ibu kaget melihat ada perban di pelipis kananku. Aku pun meceritakan apa yang terjadi. Keburukan tetaplah buruk, tidak mungkin aku menyembunyikan apa yang kulihat hanya untuk menjaga perasaan Ibu. Itu sama halnya aku mendukung apa yang telah dilakukan laki-laki itu.

Ibu hanya mematung, matanya menatap nanar jauh ke jalanan. Tidak lama kemudian setitik air mata jatuh. Aku tahu, ini pasti sangat menyakitkan. Kudekap tubuh wanita di hadapanku, terasa dadanya bergemuruh menahan emosi.

"Bantu Ibu beres-beres, ya," ucapnya berbisik, suaranya terdengar berat.

"Iya, Bu. Tapi, Ibu yakin mau pulang sekarang?" Tanganku mulai membantu memasuki dagangan ke kardus.

"Gak pulang ke rumah, tapi ke tempat Mbahmu dulu." Getar suara wanita itu amat terdengar menyakitkan.

Selama di perjalanan, aku memilih diam. Sudah berapa lama mereka begitu? Apa Ibu selama ini tahu, tapi memilih untuk diam? Orang yang seharusnya menjadi pedoman dalam keluarga, justru menunjukkan kecacatan yang nyata.

Begitu sampai di rumah nenek, Ibu langsung tersungkur dalam pelukan ibunya. Aku memilih pergi, membiarkan Ibu melepaskan semua rasa sakitnya.

Berpisah memang pilihan terbaik. Aku dan Ibu memilih tinggal di rumah nenek yang kebetulan Nenek tinggal sendirian. Rumah yang biasa kami tempati, sudah dijual. Kabar terakhir yang kutahu, laki-laki itu masih tinggal di kota ini bersama perempuannya.

Pulang dengan TenangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang