Jihoon Putra Suregar-pemuda berdarah campuran Medan dan Bandung-sedang menggeret kopernya terburu-buru melewati banyak pengguna Kereta Rel Listrik (KRL). Tangannya yang bebas dari koper ia gunakan untuk menari di atas screen ponsel pintarnya. Pemuda itu cukup ahli mengirim pesan chatting hanya dengan satu ibu jari.
Suara peringatan terdengar menggema di stasiun Pondok Ranji. Kereta tujuan Tanah Abang akan segera berangkat. Jihoon tidak punya banyak waktu. Ia mempercepat langkah dan tiba di depan pintu kereta yang terbuka. Beberapa penumpang melewatinya, sehingga ia sedikit kelimpungan menaikkan kopernya.
"Cepetan mbak!"
Jihoon hanya menunduk sekilas sebelum melanjutkan usahanya menarik koper. Tidak peduli pada sahutan orang yang menyebutnya mbak, ia lelah harus menjelaskan karunia Tuhan yang membuatnya terlalu indah melampaui kecantikan wanita meski sejatinya lelaki dengan belalai.
Dirinya sudah berada di dalam kereta namun kopernya belum masuk seutuhnya karena salah satu roda kopernya tersangkut di sisi bawah pintu kereta.
Peringatan kembali dikumandangkan oleh operator KRL. Jihoon mulai dilanda panik karena roda kopernya tak kunjung lepas. Banyak pasang mata mulai menatapnya. Beberapa membicarakan kebodohannya yang tidak bisa mengatasi masalah kecil-menurut orang lain mungkin-seperti itu.
Suara-suara mulai terdengar membicarakan tentang koper kesayangan Jihoon. Pemuda itu gelisah sembari mengutuk keberadaan petugas keamanan yang seharusnya berjaga dan mengecek setiap pintu.
Srek
Bruk
Kopernya berhasil masuk dan terdorong hingga menabrak salah satu tiang penyangga kursi di dekat pintu.
Jihoon mengedipkan matanya bingung sekaligus kaget menatap pintu KRL yang sudah tertutup. Tangannya sedang digenggam seseorang, bulu romanya merinding merasakan nafas berat seseorang menampar keningnya yang tidak tertutupi kain.
Jangan salah paham. Jihoon memang suka memasang scraf menutupi kepalanya. Sinar UV adalah musuhnya. Jadi sampai sini kalian paham kenapa Jihoon sering dipanggil mbak?
"Ya Tuhan!"
Suara berat diikuti hempasan pada tubuhnya membuat Jihoon terdorong ke sisi pintu kereta yang sedang bergerak normal ke arah Tanah Abang. Tangannya sigap berpegangan pada besi penyangga kursi agar tubuhnya tidak bercinta dengan lantai kereta yang pastinya berdebu.
Kepalanya menoleh menatap oknum berjakun tak jauh darinya sedang menatap aneh pada tangannya sendiri. Seolah tangan itu baru saja memegang kotoran paling busuk di dunia ini.
Dia yang nolongin aku? eh tadi itu nolongin atau nambahin beban sih? batin Jihoon bertanya.
"Mas, tolong dong koper aku" tidak tahu malu, dan tanpa mengucapkan terima kasih, Jihoon justru meminta pria itu mengulurkan kopernya yang memang lebih dekat dengan posisi berdiri si pria.
"Mas, aku minta tolong loh"
Pria itu tampak kesal, menoleh pada Jihoon dan mata mereka bertatapan. Hanya sebentar sebelum pria itu membuang pandangan. Atika menangkap bibir pria itu kembali menyebut nama Tuhan.
"Sok alim banget!"
Jihoon tahu mulutnya sedikit-sebenarnya banyak-jahat karena pria itu terlihat kesal dengan ucapannya.
Kereta berhenti di stasiun pemberhentian pertama, pria itu menarik koper ke arah Jihoon sebelum berlari cepat keluar dari kereta.
"Eh? baik kali mas itu?"
.
.
.
Jihoon tiba di kontrakan sederhana miliknya. Benar-benar sederhana dengan 2 unit kamar tidur, sebuah kamar mandi, ruang tamu dan dapur. Ia tidak tinggal sendiri. Menurut informasi dari ibunya, ia akan berbagi kontrakan dengan sepupu jauh dari ayahnya yang berasal dari Medan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My (Switch) Wife
RomansaPenulis sudah lupa alur Single yang kalian tunggu. Sebagai gantinya aku menulis MSW. Semoga kalian suka 😉 .... .... .... "Biasanya orang Medan manggilnya abang, kenapa kamu manggil aku mas?" Daniel iseng bertanya. Jihoon mencibir. "Gak maulah aku m...