Chapter VI

5 0 0
                                    

Kita mulai berangkat di siang hari, dan sepertinya kita akan sampai sore hari. Aku bernyanyi sepanjang jalan menyemangati yang lain, karena aku tidak jalan. Aku digendong Talia sepanjang perjalanan. Menyebalkan, padahal sebenarnya aku bisa berjalan sendiri. 

"Gallusia, kau benar sudah enakan kan?" kata Talia.

"Ha? Kenapa kamu menjadi khawatir sekali. Tenang saja aku tidak apa-apa, memangnya kenapa kamu bertanya?" kataku. 

"Habis mukamu seperti ditekuk dari awal berangkat" kata Talia.

Aku tidak menjawabnya dan hanya merespon dengan menoleh dari mukanya. Anehnya, tiba-tiba ekspresi Holden berubah.

"Desa Raja Mordos. Terbakar. Kita harus bergegas!" kata Holden.

"Holden, ini bukan saatnya bercanda! Apakah kau serius?!" kata Nyonya Ambresi dengan muka panik.

"Aku tidak bohong! Instingku mengatakan desanya sedang terbakar" kata Holden.

Tiba-tiba Nyonya Ambresi langsung lari sendiri melupakan kita. Dia terlihat panik sekali, dan tidak bisa dihentikan. Jadi kami mengikuti kecepatannya. Apa yang sebenarnya terjadi?

-----

"Desaku! Terbakar!" kata Mrolga.

Ketika datang, semuanya sudah telat. Api sudah merambat ke sudut-sudut desa. Warga-warga kebanyakan sudah mati, dari dewasa hingga anak-anak. Sialan, siapapun yang melakukan ini akan mendapat balasan dariku. 

"Mrolga, kamu sebaiknya kembali saja ke suku-suku sebelumnya. Peringatkan mereka untuk menguatkan pertahanan. Kami akan mengurus masalah disini" kataku.

"Apa yang kalian tunggu?! Kita harus mencari Raja Mordos" kata Nyonya Ambresi dilanjut dengan dia lari ke dalam lautan api.

"Tunggu Nyonya Ambresi. Sial kita tidak bisa menghentikannya. Holden, ayo ikuti dia. Gallusia, kau tunggu disini. Jangan bergerak sedikitpun!" kata Talia.

Mereka berdua masuk meninggalkanku. "Eh tunggu!" Kurang ajar aku ditinggal sendiri. Aku tidak suka diam seperti ini. Aku akan menyusul mereka, begini-begini aku masih bisa jalan juga.

Api ada dimana-mana. Panasnya tak terkalahkan. Rumah-rumah sudah mulai hangus, tembok desa sudah menipis, udara semakin tebal. Hanya tersisa balai warga untuk dilihat.

Ketika memasuki, aku mencari Nyonya Ambresi dan yang lain. Aku melihat Nyonya Ambresi dan yang lain sedang berada di sebelah Raja Mordos yang terbaring.

"Guru, bertahanlah. Masih ada hal yang harus dilakukan" kata Nyonya Ambresi.

"Rosà. Hanya kaulah yang mengingatku sepanjang ini. Tidak ada muridku yang mengingatku selainmu. Waktuku sudah dekat, dan aku ingin mengatakan sesuatu" kata Raja Mordos.

"Berhenti. Jangan berbicara lagi, tolong. Aku tidak kuat menahannya" kata Nyonya Ambresi sambil meneteskan air mata.

"Aku mencintaimu. Ingatlah selalu itu Rosà. Sekarang, izinkan aku pergi" kata Raja Mordos.

"Tunggu! Jangan, jangan tinggalkanku seperti ini! Aku seharusnya selalu berada di sisimu!" kata Nyonya Ambresi.

"Keras kepala, muridku tercinta" kata terakhir dari Raja Mordos sebelum menghembuskan nafas terakhirnya.

"Nyonya Ambresi, kita harus pergi! Bangunan ini mau runtuh!" kataku.

"Gallusia! Sedang apa kau disini! Kau masih sakit" kata Talia.

"Holden dan Talia, tolong. Tolong sekali, bawa tubuh Raja Mordos ke desa Ketua Furs" kata Nyonya Ambresi.

Lalu kami semua mengarah keluar. Holden dan Talia sudah terlebih dahulu pergi, tinggal aku dan Nyonya Ambresi. "Nyonya Ambresi, aku tahu kehilangan membuat hati seperti tersayat. Tapi untuk sekarang, kita haris keluar dari desa sebelum kita tertelan api" kataku.

"Hohoho, kalian tidak akan bisa pergi dari sini! Semua akses keluar sudah terbakar" kata seseorang.

"Siapa kau! Tunjukkan mukamu, aku ingin melihat dalang semua ini" kata Nyonya Ambresi.

Orang itu menampakkan dirinya. Setelah dilihat seksama, orang itu seperti terlihat familiar.

"Hadeon! Kau membakar desa ini?!" tanyaku.

Ekspresi Nyonya Ambresi berubah menjadi serius. "Gallusia, berdiri di belakangku. Hadeon! Kenapa kau melakukan ini?!" kata Nyonya Ambresi.

"Aku hanyalah api yang membakar  membakar desa ini" kata Hadeon.

"Lalu siapa angin yang meniupmu?" kata Nyonya Ambresi.

"Ratu Forosso. Ratu Yuria menyuruhku" kata Hadeon.

Mendengar itu, aku kaget sekali. Aku sampai tidak bisa melakukan apapun. Tiba-tiba Nyonya Ambresi menembak pistolnya ke kaki Hadeon. Hadeon pun terjatuh. Lalu Nyonya Ambresi menghampirinya.

"Bagaimana rasanya tertembak di kaki" kata Nyonya Ambresi. Setelah itu Nyonya Ambresi mendekat dan memegang kepala Hadeon yang terjatuh. "Dasar bocah kurang ajar. Kau membakar desa ini! Kau membunuh Raja Mordos! Dan sekarang kau mau membunuh Gallusia! Dasar kurang ajar!" ujarnya sambil membanting kepala Hadeon berkali-kali.

Lalu aku melihat ada celah untuk kabur dari sini. "Nyonya Ambresi, ayo kita harus kabur dari sini!".

Nyonya Ambresi tidak merespon. Dia membanting kepala Hadeon tak henti-henti. Tatapannya berubah seperti ingin membunuh. Aku lari kearahnya.

"Nyonya Ambresi! Sadar. Kita akan mati jika tidak kabur. Aku tahu hatimu hancur. Tapi kita tidak boleh mati disini!" kataku. Dia pun masih tidak merespon. "Tolong dengarkan aku..." kataku. Lalu aku pingsan karena panas.

-----

"Di-dimana aku?" tanyaku.

"Gallusia. Syukurlah kau masih bangun. Kita ada di desa Ketua Furs" kata Talia.

"Tolong, aku mau duduk senderan" kataku. "Dimana Nyonya Ambresi?" lanjutku.

"Dia masih menunggu di kuburan Raja Mordos. Sejak kemarin dia tidak pindah. Tapi apa yang sebenernya terjadi di balai warga?" tanya Talia.

Lalu aku menceritakan semuanya. Termasuk sosok asli Hadeon. Jadi selama ini, dia adalah bawahannya Ratu Yuria. Aku merasa bodoh, padahal sudah bertemu dengan Hadeon tetapi aku tidak tahu siapa dia.

"Talia, aku ingin bertemu Nyonya Gallusia" kataku.

"Tidak. Kau istirahat saja" kata Talia.

"Sebentar saja. Aku ingin menenangkan Nyonya Ambresi" kataku.

"Kau seharusnya mengurus diri sendiri dulu" kata Talia. Lalu aku memasang muka memelas. "Ah sudah jangan pasang muka itu. Huft, baiklah sini aku tuntun" kata Talia.

Setelah melihat Nyonya Ambresi aku miris melihatnya. Dia berbicara pada diri sendiri.

"Guruku. Maafkan aku, tidak bisa melindungimu. Seandainya aku lebih kuat, pastinya tidak akan berakhir seperti ini. Sampai jumpa guruku, semoga kita bisa bertemu di kehidupan lain" kata Nyonya Ambresi.

Setelah mengucap itupun dia masih menangis. Talia dan aku mendekat dan menenangkannya. "Nyonya Ambresi, kehilangan seseorang yang kita sayangi memang berat. Tetapi supaya yang meninggalkan kita dapat beristirahat tenang, kita harus menjalankan kehidupan dengan bahagia. Itulah yang kutanamkan dipikiranku setelah orang tuaku meninggal" kataku.

"Gallusia, tahukah kau? Dulu dialah yang menyelamatkanku ketika aku diselingkuhi mantan suamiku. Tapi sampai detik ini aku tidak pernah membalas budi padanya" kata Nyonya Ambresi.

"Tidak seperti itu! Kau sudah membantu menyatukan Oceiris bukan? Kita sudah berkeliling Oceiris dan berhasil memenuhi mimpi Raja Mordos. Tentunya dia akan beristirahat dengan tenang" kataku.

"Gallusia, terimakasih. Terimakasih Gallusia. Kata-katamu membuat dadaku lebih lega" kata Nyonya Ambresi sambil memelukku.

-----

Beberapa hari telah berlalu. Nyonya Ambresi sudah kembali seperti biasanya, galak dan elegan. Di kurun waktu itu, aku menunjuk Ketua Furs sebagai pemimpin Oceiris untuk sementara. Jadi sekarang, Ketua Furs berubah menjadi Raja Furs. Dan tubuhku juga sudah kembali bugar. Akhirnya kami siap untuk melanjutkan perjalanan.

"Gallusia kau siap?" tanya Talia.

"Tentu saja. Fordolla bersiaplah, kalian akan tunduk pada darah naga!"

Season I
Selesai

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 11, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dragon's ThroneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang