Second Opinion | 2

728 66 19
                                    

Selama menikmati macaroni schotel, pikiranku berkecamuk. Apakah aku harus mengikuti langkah Kak Amalia untuk bisa memiliki penghasilan sendiri tanpa meninggalkan anak-anak di rumah?

Ingat, Naya! Meski kak Lia sedang hamil dan memiliki dua jagoan di rumah, ada asisten yang akan membantu segala keperluannya, tidak seperti kamu!

Aku menggeleng, berusaha mengusir bayangan kerepotan yang akan kuhadapi seandainya harus memiliki pekerjaan sampingan tanpa bantuan ART.

Tapi bagaimana kalau tiba-tiba memerlukan dana, semisal Jia atau Kia sakit seperti sekarang, ketika uang di tabungan sudah tidak bisa diandalkan?

Kamu pasti bisa, Naya! Pasti bisa! Pertimbangkan masa depan Jia dan Kia juga. Cari saja sampingan yang bisa dikerjakan di rumah.

Aku kembali mendesah, sambil mengamati Jia dan Kia yang tertidur dalam gelisah. Apakah anak-anak bisa merasakan apa yang sedang aku rasakan?

Aku memilih untuk beranjak ke dapur untuk melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda.

***

"Kok pulangnya malam terus?" Aku membantu Mas Ryan menyimpan tas di atas meja, lalu mengambilkan air minum hangat untuknya.

"Kalau mau rilis produk baru memang kesibukan di kantor meningkat. Tim produksi apa lagi."

Selepas mengganti pakaian dengan kaos, Mas Ryan masuk ke kamar depan. Jia dan Kia baru tidur dua puluh menit sebelum papa mereka pulang.

"Jia masih demam?" Punggung tangannya diletakkan di atas kening Jia yang sudah mulai pulas.

"Sudah turun, alhamdulillah. Tadi sempat naik lagi, tapi sebelum tidur aku cek, suhunya udah 36,8 °C."

"Alhamdulillah. Kia udah nggak batuk, kan?" Kini tangannya beralih untuk membelai kepala Kia.

"Mendingan," jawabku lagi.

Sudah dua hari ini Mas Ryan berangkat pagi dan pulang malam, saat anak-anak tertidur. Tidak sempat berpamitan atau disambut saat pulang. Kalaupun Jia atau Kia terbangun di tengah malam karena masih merasa tidak enak badan, aku tidak berani membangunkan Mas Ryan yang terlihat lelah dalam seminggu terakhir ini.

Selesai merapikan selimut Jia dan Kia di ranjang tidur masing-masing, Mas Ryan beranjak ke ruang makan. Ruangan yang hanya disekat oleh lemari yang membagi ruang makan dan ruang tamu. Aku sudah memasak sop ikan tadi sore, menu yang sama untuk makan malam Jia dan Kia.

"Sebulan ke depan ini kayaknya aku bakalan tambah sibuk. Kamu nggak apa-apa, kan?"

Apa aku tidak apa-apa?

Aku menggeleng, seraya menarik kedua ujung bibir. "Lagi sibuk banget, ya? Jaga kesehatan aja kalau begitu."

Mas Ryan mengangguk ke arahku. Wajahnya terlihat letih.

"Naya, begini." Diteguknya air hangat di hadapan sebelum melanjutkan. "Hadian ngajakin gabung ke timnya jadi peneliti lepas untuk proyek baru. Katanya masih perlu orang. Kalau tawarannya aku ambil, bagaimana?" tanyanya hati-hati. "Tapi artinya sabtu dan minggu aku nggak di rumah."

Aku tercenung. "Tapi pekerjaan Mas di kantor saja sudah menguras waktu untuk Jia dan Kia, apa lagi waktu buat bantu pekerjaan di rumah. Bagaimana kalau sudah jadi peneliti lepas?"

Mas Ryan tidak langsung membalas. Tangannya memainkan dagu dengan bola mata yang digerak-gerakkan. Dahinya ikut berkerut di tengah.

"Aku usahakan untuk berangkat dan pulang sesuai jam kantor. Proyek Hadian juga tidak lama. Mungkin sekitar tiga bulan."

Aku mendesah, membuang muka.

Melihat responku, Mas Ryan melunakkan suaranya. "Kita sedang butuh tambahan pemasukan, Naya." Mas Ryan meraih tanganku, tapi kutepis dengan sedikit kasar.

"Terserah," ucapku sambil meraih gelas dan menenggak isinya sampai kosong.

Sepertinya memiliki pekerjaan sampingan bukan ide yang baik untuk kami sekarang ini, terlebih Jia dan Kia sedang butuh perhatian ekstra. Biarlah urusan uang tambahan kami pikirkan lagi nanti-nanti.

***

Ketika membuka mata, Mas Ryan sudah tidak berada di kamar.

Apa Mas Ryan masih marah? Aku mengingat-ingat apa yang terjadi semalam.

Kami makan tanpa melakukan percakapan lagi. Setelah itu, aku membereskan meja dan membawa piring kotor ke dapur. Mas Ryan menyusulku dan mengambil alih cucian. Aku tidak menahannya untuk mencuci piring, lalu bergegas ke kamar untuk tidur.

Aku bangkit duduk dan merasakan tubuhku terasa lebih ringan dari kemarin.

Tunggu! Jam berapa semalam aku tidur? Apa Jia dan Kia semalam tidak terbangun?

Aku segera beranjak, memeriksa mereka di kamar depan. Keduanya masih terlihat nyenyak.

Dari arah dapur, aku mendengar suara mesin cuci yang baru dinyalakan.

"Sudah bangun?" Mas Ryan mengenakan kaos dalam berlengan pendek dan celana kaos selutut, memamerkan bulu-bulu halus di sekitar kaki jenjangnya.

"Biar aku aja, Mas." Kali ini aku merasa bersalah. Mas Ryan pasti masih lelah, karena harus bangun lebih awal.

"Nggak apa-apa. Tinggal pijit tombol ini aja, kan?" Ia tersenyum bangga, yang kemudian senyumnya menular padaku.

"Maaf, ya, semalam aku ...."

Mas Ryan meraih pinggang dan menarikku ke dalam pelukannya. "Aku yang seharusnya minta maaf."

"Nggak apa-apa. Semalam aku cuma lagi sensi aja."

"Sensitif?" Pelukannya seketika melonggar. Tangganya naik ke bahuku. "Kamu sensitif?"

Dahiku mengernyit. Tidak paham dengan arah pertanyaannya. Namun tidak lama kemudian, tawaku terlepas.

"Kamu lagi mikirin apa? Merk tes kehamilan?" ledekku. Terkadang guyonan Mas Ryan terdengar receh sekali.

Geligi putihnya mengintip dari balik bibir merah yang ditariknya ke samping, searah garis mata yang kini menyipit. Melihat Mas Ryan meringis seperti itu malah membuatku gemas.

"Kalau di sini sensitif, nggak?" Senyum nakalnya kini membuat pipiku merona. Mas Ryan menyibak rambutku dan menggelitik leher sebelah kanan yang terbuka dengan pelan.

Aku berkelit, hingga pegangannya di bahuku terlepas.

"Apaan, sih? Masih pagi." Aku melengos sambil mengulum senyum, lalu beranjak ke dalam kamar. Berharap Mas Ryan mengejarku dari belakang.

Setelah beberapa menit berlalu dan tidak juga menemukan Mas Ryan di balik pintu kamar, aku mendesah dan menyerah. Saat kembali ke dapur karena penasaran dengan apa yang sedang dilakukannya sekarang, aku mendapatinya sedang menyiapkan sarapan.

Aku menepuk dahi.

Apa suamiku seserius itu menanggapi ucapanku tadi?

***

Mas Ryan garing banget, ya? 😅

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 11, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Part Time MomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang