See You Again | 1

400 51 4
                                    

"Beneran nggak apa-apa?" Mas Ryan meletakkan sendok di atas piring yang masih setengah bersisa, lalu memiringkan kepala sambil menatapku. Kedua alisnya bertaut di tengah.

"Aku, sih, nggak apa-apa," jawabku sambil mengedikkan bahu,"asal Mas kasih izin."

Tanganku beralih pada piring berisi potongan buah pepaya dan memindahkan beberapa potongnya ke dalam kotak bekal. Sebelum menaruh irisan wortel dan brokoli kukus di samping nasi goreng mentega, kepalaku sempat mendongak karena Mas Ryan tidak juga menyahut.

"Hm," ia menautkan jemari dengan sikut yang menempel di atas meja, "sebenarnya nggak apa-apa."

Tapi? Aku menatapnya sambil menunggu.

"Tapi acaranya belum tahu selesai jam berapa, jadi mas nggak tahu bisa jemput kalian jam berapa." Sorot matanya yang meredup menjelaskan jika Mas Ryan merasa bersalah.

"Kami bisa nunggu di tempat makan samping rumah sakit," jawabku, sambil menutup kotak bekal milik Jia dan Kia.

"Kalau ternyata selesainya sore atau malam?"

"Ya nggak apa-apa. Atau, kami bisa mampir ke rumah kak Lia." Tiba-tiba saja nama kakak perempuan semata wayangku terlintas. Meski harus menempuh waktu puluhan menit ke apartemennya di daerah Jakarta Timur, setidaknya kami bisa beristirahat sebentar sebelum Mas Ryan jemput.

"Atau, kamu yang bawa mobil?"

Aku menggeleng. "Repot," sahutku. Bukannya manja, tapi opsi dijemput atau naik taksi daring lebih masuk akal daripada harus menyetir sendiri dari Jakarta Pusat ke Bogor, atau sebaliknya. Mending kalau Jia dan Kia bisa anteng duduk lama di car seat, kalau tidak? "Mas aja yang bawa."

Keningnya masih berkerut. Aku mengamatinya sambil beranjak ke samping dispenser air, untuk mengisi botol minum dengan air hangat.

"Oke," jawabnya setelah beberapa detik berlalu. "Nanti mas jemput di rumah Kak Lia, ya? Tapi hubungi saja dulu, takutnya lagi ada acara keluar."

Aku mengangguk, lalu bergegas ke kamar. Jia dan Kia harus segera dibangunkan jika tidak ingin membuat Mas Ryan terlambat datang.

Biasanya kami berangkat ke rumah sakit jam delapan, di setiap sabtu keempat untuk memeriksakan kondisi kesehatan Kia. Namun, sabtu ini Mas Ryan harus kembali ke kantor untuk acara pra-rilis produk terbaru, karena timnya terlibat dalam proses produksi. Sementara, jadwal kontrol Kia pun tidak bisa ditunda. Akhirnya, kami memutuskan untuk berangkat lebih pagi supaya Mas Ryan bisa mengantar ke rumah sakit terlebih dahulu.

Tiga puluh menit kemudian, Jia dan Kia sudah mandi dan berganti pakaian. Aku bisa menyuapi mereka nanti di mobil.

***

Meski terlihat sehat dan ceria, Kia mengalami defek septum atrium, kondisi di mana terdapat lubang pada sekat jantung bagian atas, semenjak lahir. Lubangnya memang tidak terlalu besar hingga dokter tidak menyarankan tindakan bedah untuk waktu dekat. Namun, akhir-akhir ini kesehatan Kia menurun dan mudah kelelahan. Selain memberikan resep obat setiap bulannya, perkembangan jantung Kia juga dipantau oleh dokter spesialis anak yang menanganinya saat dilahirkan.

Mobil menepi di lobi rumah sakit ketika loket pendaftaran sudah memperlihatkan antrian panjang. Mas Ryan membantuku menurunkan stroller dan memasangkannya. Namun, saat Mas Ryan hendak melangkah ke loket pendaftaran, buru-buru saja kucegah. Aku segera menyuruhnya kembali ke mobil.

Setelah mengantri lebih dari tiga puluh menit di loket pendaftaran, kami juga harus mengantri untuk masuk ke ruang konsultasi. Jia sempat rewel karena dibangunkan lebih pagi dari biasanya. Setelah kenyang meminum ASI, akhirnya bisa ditidurkan di atas stroller. Sementara Kia, hari ini tampak lebih anteng dan hanya mengamati anak-anak yang tengah bermain perosotan di area bermain ruang tunggu dari stroller-nya.

Sebuah panggilan mengalihkan perhatianku. Kak Amalia.

"Udah masuk ruangan?" tanyanya setelah menjawab salamku.

"Belum."

"Kamu mau dijemput sekarang, nggak?"

"Nggak usah," balasku cepat. "Biar nggak lama nungguin. Lagian, nggak dijemput juga nggak apa-apa. Kami bisa naik Gocar."

"Eh, elu bawa dua bayi!" Kak Amalia setengah berteriak. Dari panggilannya yang berubah saja sudah bisa dipastikan jika ibu yang tengah hamil anak ketiga ini sedang kesal dengan jawabanku.

Aku meringis, membayangkan wajahnya saat mengucapkan kata-kata tadi.

"Tapi seenggaknya nggak usah ke sini sekarang. Kayaknya masih sejam atau dua jam lagi baru beres, sekalian antri obat."

"Oh, ya udah. Aku mau ngajak Adnan sama Edwin jalan dulu kalau gitu. Nanti kami jemput ke sana. Udah, ya. Mau siap-siap dulu. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam," jawabku sebelum tanda putus terdengar, lalu menarik napas panjang.

Kakak semata wayangku ini memang unik. Salah satu keunikannya adalah tidak ingin dibantah. Apa pun yang menurutnya benar selalu dipertahankan kuat-kuat.

Lebih dari satu jam menunggu, akhirnya nama Kia dipanggil. Dokter Sania memang salah satu DSA favorit di Rumah Sakit Ibu dan Anak ini, hingga pasiennya yang selalu paling banyak di setiap jam praktik.

Hasil pemeriksaan jantung Kia menunjukkan adanya perkembangan dan lebih baik daripada kunjungan di bulan sebelumnya. Namun, Kia masih harus mengonsumsi sejumlah obat sampai dokter menyatakan lubang di jantungnya semakin mengecil. Atau kemungkinan terburuknya, Kia harus menjalani operasi. Sebelum opsi kedua itu diambil, dokter masih meresepkan obat untuk mengurangi gejala yang sewaktu-waktu bisa timbul.

Kak Amalia mengabari jika sudah sampai di parkiran, ketika aku sedang mengantri di loket obat. Beruntung antriannya tidak sepanjang sebelumnya, hingga kurang dari sepuluh menit kami sudah beranjak meninggalkan loket.

Sebuah mobil Fortuner TRD putih menepi. Kak Amalia menurunkan kaca jendela mobil, sementara seorang sopir setengah baya turun dan membantuku menaikkan stroller ke dalam bagasi.

"Udah lama, Kak?" tanyaku setelah mencium tangan dan duduk di sebelahnya. Adnan dan Edwin yang duduk di bangku paling belakang segera menggoda Jia dan Kia yang baru kududukkan di tengah, antara aku dan Kak Amelia.

"Baru," jawabnya. "Gimana Kia, sehat, kan?"

Aku mengangguk, lalu menceritakan hasil pemeriksaan tadi dengan dokter.

"Mau jalan dulu atau langsung ke rumah?"

"Terserah."

Jia dan Kia yang sudah berdiri sambil melihat ke bangku belakang tertawa dengan sesekali meloncat-loncat girang, karena digoda kakak-kakak sepupunya.

"Kak Ehsan lagi di rumah? Kok tumben diantar Pak Yudi." Aku mengarahkan pandangan sekilas ke depan.

"Nggak. Masuk, kok." Kak Amalia menoleh ke belakang sambil mengibas. "Adnan, mainnya nggak pakai kaki gitu, ah!" koreksinya, sambil melotot ke arah anak nomor satu dengan intonasi suara meninggi. "Tadi sengaja minta Pak Yudi aja yang antar. Kakak lagi malas bawa mobil. Perut udah mulai buncit gini, cepat sesak," lanjutnya, kembali dengan nada yang normal.

"Dibilang nggak usah jemput." Aku pura-pura marah.

"Sumpek di rumah terus, Na," katanya sambil kembali melotot ke arah Adnan yang kembali mencapit tangan Jia yang terulur, dengan kedua kaki yang dinaikkan ke atas.

"Eh bulan depan kakak jadi pindah ke Bogor. Di Jakarta panas. Nanti Jia dan Kia bisa lebih sering main sama Adnan dan Edwin."

Aku memutar tubuh secara refleks, hingga tubuh kami berhadapan. "Pindah?"

"Iya, ke perumahan yang waktu itu kak Ehsan lihat. Nggak jauh, kan, dari rumah kamu? Palingan tiga puluh menit sampai."

Aku meneguk ludah. Semoga saja tadi Kak Amalia tidak menyadari bola mata dan mulutku yang sempat melebar.

***

Hai, semoga saja masih ada yang nunggu kisah mamanya si kembar, ya.

Ini harus maraton nulis, demi mengejar ketertinggalan. 😅

Part Time MomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang