Second Opinion | 1

335 45 6
                                    

Rumah Kak Amalia dan Bang Ehsan yang berada di ketinggian 350 mdpl itu merupakan rumah siap huni, dengan luas tanah 90 meter persegi yang dibangun menjadi dua lantai. Luas yang bisa tiga bahkan empat kali lipat dari luas apartemen sebelumnya.

Kami hanya berkunjung sebentar untuk mengantarkan beberapa dus kue dan dua kantong buah, karena keluarga besar Bang Ehsan akan berkunjung juga ke sana. Kami segera pamit setelah ikut berkeliling melihat setiap bagian rumahnya yang sejuk.

Mas Ryan tiba-tiba saja menggenggam tanganku dengan sebelah tangannya saat menyetir. Aku meliriknya sekilas, lalu menengok ke belakang untuk mengecek Jia dan Kia yang tertidur dalam baby car seat.

"Ada apa?" tanyaku lembut, disertai dengan senyum. Aku menepuk-nepuk punggung tangannya sebentar, sebelum memintanya untuk kembali fokus menyetir.

"Sabar, ya." Tangannya menggenggam tanganku lebih erat, lalu melepasnya untuk kembali memegang setir.

Ada getaran rasa yang dirambatkan, walau hanya berupa gerakan sederhana. Mas Ryan memang bukan laki-laki yang pandai merangkai kata. Namun, lewat kalimat singkat dan gesturnya, aku bisa memahami apa maksud di balik itu.

"Semua ada masanya. Kita nikmati saja semua episode ini bersama," balasku.

Mas Ryan menoleh dan memberikan senyuman manis, yang kubalas dengan senyum serupa.

***

"Na, kakak kirimin macaroni schotel. Nanti diantar ke rumah. Orangnya belum lama jalan. Kamu, sih, kemarin pulang buru-buru, nggak sempat kakak bahanin oleh-oleh."

"Nggak usah repot-repot lagian. Kemarin JK lagi pada kurang sehat, jadi mendingan pulang duluan daripada rewel."

"Nggak repot sih, itu kakak sekalian bikin buat tester."

Dahiku mengernyit. "Kakak jadi mau buka toko pasta dan pastrinya?"

"Nggak sekarang banget, sih. Palingan setelah dapat asisten buat bantu-bantu di rumah. Di dekat ruko rumah makan ada kios kecil. Rencananya mau kakak sewa."

Aku membayangkan Kak Amalia sibuk di dapur dengan perut yang semakin membuncit. Bulan ini kehamilannya menginjak usia yang ketujuh.

"Tapi jangan sampai kecapekan juga, Kak," ingatku. "Nanti aja wujudin wishlist-nya kalau sudah lahiran." Sebagai wanita yang memiliki hobi memasak dan membuat kue semenjak remaja, Kak Amalia memang memiliki cita-cita membuat sebuah toko pasta dan pastry sejak lama.

"Justru kalau abis lahiran nggak bakalan sempat mikir dan ngurus kayak begituan lagi, Na. Kakak mau cari beberapa karyawan yang punya basic tata boga atau semacamnya. Kakak cuma sharing resep, mereka yang bikin. Bagian QC mau cari orang lagi, semacam asisten pribadi yang mewakili selama kakak lahiran. Udah ada calonnya, sih. Adiknya teman. Kalau kamu nggak repot sama JK, pasti udah kakak ajakin kerja sama."

Aku hanya diam mendengarkan, tanpa menyela.

"Nanti kalau sudah sukses sama toko yang di sini, kakak buka cabang dekat rumah kamu, ya? Kamu cuma jadi semacam manager aja. Nggak usah capek kerja." Kak Amalia menutup kalimatnya dengan tawa.

"Iya, beres." Aku menimpalinya juga dengan tawa.

Bukan hanya sekali, kakak perempuanku itu sudah lebih dari sepuluh kali menawarkan kerja sama atau bantuan lunak untuk membuat usaha sendiri di rumah. Namun karena aku masih fokus dengan JK dan Mas Ryan juga belum memberikan lampu hijau, aku selalu menolaknya dengan halus.

Secara tidak langsung, Kak Amalia selalu ingin membantu perekonomian keluarga kami. Namun secara tidak langsung juga, kami menolak secara halus setiap bantuannya.

Bukan hanya kepada Kak Amalia, kami juga menolak tawaran Mami dan Papi untuk mendiami rumah di Depok. Setelah diskusi panjang lebar, akhirnya mereka mau mengerti, selain mulai tahu dengan sifat Mas Ryan.

"Nanti kamu kasih testimoni, ya." Ucapan Kak Amalia menyadarku dari lamunan.

"Beres itu mah," jawabku kemudian.

"Mungkin lima belas menitan lagi nyampe."

Terdengar suara tangisan Kia dari dalam kamar.

"Eh, Kak, nanti disambung lagi, ya. Kia bangun."

"Oke. Sun sayang buat baby JK, ya." Setelah saling mengucap salam, sambungan pun terputus.

Aku bergegas menyusul ke dalam kamar, memeriksa Kia yang baru beberapa menit saja terlelap.

***

Aku kira Kak Amalia mengirim macaroni lewat aplikasi Gosend yang sering kugunakan, ternyata diantar langsung oleh sopir barunya.

Satu kotak besar alumunium foil macaroni schotel, dua kotak sedang alumunium foil spaghetti brulee, dua toples camilan untuk baby JK, dan satu parsel berukuran besar yang berisi buah-buahan.

Aku menghela napas panjang, ketika menemukan sebuah kartu yang terselip di antara semua kiriman itu.

Makan yang banyak, Na.
Kamu agak kurusan sekarang. Jangan banyak pikiran, ya.

Ah, seketika saja kristal bening di mataku terurai menjadi rintik-rintik air yang membasahi pipi. Kak Amalia memang tidak mengetahui keadaan kami yang sebenarnya, tapi pasti bisa merasakan perubahan yang perlahan terjadi padaku.

Aku sering mengelak karena kurang istirahat jika ditanya kenapa terlihat kurusan, atau beralasan Jia dan Kia yang sedang aktif hingga tidak bisa diam di rumah.

Segera kuhapus air mata dan mengabarkan jika kirimannya sudah sampai. Tidak lupa mengucapkan terima kasih dan mengirim stiker kartun beruang yang tengah berpelukan.

Mungkin karena kondisi Jia dan Kia yang bergantian sakit, membuatku menjadi sedikit melow. Biasanya, kondisi seberat apa pun tidak membuatku mudah menitikkan air mata.

Giliran Jia yang menangis. Kali ini terbangun karena kegerahan. Tadi sengaja kumatikan AC karena Kia kedinginan.

___

*mdpl: meter di atas permukaan laut

***

Sudah hari ke-22 tapi baru bisa update part 7. Gpp, ya.
Ini sambil lari semampunya. 😆

Bismillah.

Part Time MomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang