Part 8 : Tempat Lain Lagi

98 4 0
                                    

Misteri Orang Hilang
Part 8

****

Entah Olla melihatnya atau tidak. Perlahan setelah merasa melayang, aku merasa kepala ini berputar-putar. Rambut ini perlahan menutupi wajahku dan semuanya menjadi gelap. Sampai detik terakhir, aku tidak lagi mendengar suara Olla memanggil.

***

Tumbukan? Siapa?

Siapa yang sedang menumbuk?

Mataku lebih lengket dan sulit dibuka dibandingkan dengan saat harus menemani Olla ke toilet malam-malam. Oh iya, benar! Aku kan tadi bersama Olla. Akh, kepalaku sakit!
Denyut dan ngilu langsung melanda kepala ini kala tubuhku memaksa bangun. Ada yang terasa asing.

Tanganku meraba disusul dengan lirikan mata yang mengarah ke sana. Sesuatu seperti jerami dan kasar telah digunakan untuk menidurkanku. Aku bangun. Kuletakkan kaki ke semen halus yang dingin. Aku kini duduk di pinggiran sebuah ranjang jerami yang kuno dan berada di tempat yang ... sejak kapan?

Tempat ini ... asing dan aneh.
Ranjang jerami yang dialasi juga oleh tikar tipis dari daun kelapa ini memiliki penutup kelambu di atasnya. Mirip tempat tidur tempo dulu. Masih ada yang memakai tema klasik seperti ini? Ah, Ayah juga suka musik klasik, sih. Terutama instrumen milik Sebastian Bach dan Mozart. Queen of the Night Aria selalu diputar di pagi hari.

Sejak kapan aku berada di sini? Kapan aku merasa pernah kemari?

Hawa yang menyesakkan dada langsung menyeruak dan membuat paru-paruku sulit untuk bernapas. Jemariku terus mengelus bagian dada tempat sirkulasi udara di dalam tubuh manusia itu berada.

"Permisi." Oh? Suaraku parau sekali. Serak dan hampir tidak mengeluarkan bunyi.

"A-a-a-akh!" Aku terus memaksa kerongkongan ini untuk terus mengeluarkan suara seperti sedia kala.

"Tidak sopan anak bocah mengeluarkan suara menjijikan seperti itu."

Aku terperanjat kaget saat sebuah suara asing menginterupsi. Kumundurkan tubuh ini hingga mencapai batas dinding yang memang menempel dengan ranjang yang kutiduri sebelumnya. Belum terjawab pertanyaan soal di mana diriku sekarang, kini malah ada hal asing lainnya yang juga menyambut.

Suara tongkat yang dihentakkan ke lantai berkali-kali terdengar. Aku melihat sosok nenek tua yang jalan membungkuk menggunakan tongkat dan menuju ke arahku. Sontak tubuh ini makin merapatkan diri ke dinding. Syukurlah nenek itu berhenti. Siapa dia?

"Anda siapa?" tanyaku masih dengan suara serak yang tidak nyaman sama sekali.

"Kalau orang tua sedang bicara itu jangan disela!"

Aku refleks memejamkan mata kala mendengar bentakannya yang begitu menggelegar. Bagian dalam bibir bawah kugigit erat hingga terasa sakit. Tidak berani diri ini melihat ke arahnya atau hanya sekadar membuka mata.

"Jadi kamu anaknya Mimin?"
Aku terhenyak sebentar di sela rasa takut yang mendera seluruh inci tubuh ini. Dia baru saja ... menyebut nama ibuku? Aku mendongak. Kini bisa kulihat jelas sosoknya yang duduk di atas kursi yang entah sejak kapan ada di sana.

Kulit nenek itu keriput dan rambutnya putih seperti kebanyakan orang lanjut usia pada umumnya. Bisa kuperkirakan rambutnya begitu panjang karena gelungan yang ada di bagian atas kepala itu begitu besar. Konde tradisional yang biasa dipakai sinden saja kalah besar. Apa kepalanya tidak merasa pegal, ya?

"Dari mana Anda mengenal nama ibu saya?" tanyaku pelan-pelan dan hati-hati. Bukannya menjawab, nenek itu malah bangun dan kembali lagi membawa sebuah tumbukan tradisional di tangannya. Sekarang bukannya semua orang sudah memakai blender, ya?

"Umurmu berapa?"

Kenapa menanyakan umur. Tangan nenek itu yang kini mulai menggenggam isi dari dalam alu kecil tersebut benar-benar membuatku merinding.

"Enam belas," jawabku gemetaran. Tangan dan kakiku benar-benar terasa kebas dengan hebat.

"Lahir? Tanggal lahir?"

"Lima maret," jawabku lagi. Bibir ini mengucapkannya begitu saja. Rasa takut sudah mulai menguasai akal sehat dan pikiran rasionalku.

"Lima maret dua ribu tiga."

Aku tercengang. Aku hanya menyebut tanggal dan bulan, bukan beserta tahunnya. Apa nenek ini bisa menghitung mundur umurku secepat itu?

"Satu suro."

"Hah?"

Nenek itu melemparkan seluruh isi dari dalam alu tersebut ke arahku. Mulutku yang semula terbuka sampai harus tersedak hebat dengan berbagai biji-bijian halus yang menyangkut di tenggorokan.

Mulutnya merapal sesuatu yang tidak bisa aku mengerti. Dia berteriak keras sekali sampai gendang telingaku tidak tahan mendengarnya. Kututup daun pendengaran dengan kedua telapak tangan. Ia berteriak lebih kencang. Rapalannya semakin cepat dan tidak bertempo.

Aku ingin lari saja rasanya!

"BERHENTI ...!" teriakku tidak tahan. Suara aneh itu berhenti. Perlahan kubuka mata dan kedua tangan yang menutupi daun telinga. Kini nenek itu tengah menunduk. Sedetik kemudian wajahnya mendongak ke arahku dengan mata melotot. Mulutnya terbuka pelan.

"Tumbal."

****

Note : 5 Maret 2003 tersebut bertepatan dengan 1 Suro tahun kalender Jawa

MISTERI ORANG HILANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang