Part 11 : Bukan Petualang

68 4 0
                                    

Telapak tanganku otomatis terangkat menutupi mulut. Bukan hanya sekadar untuk menghambat bau kemenyan yang menguar kuat saja, tapi juga saking terkejutnya diri ini melihat apa yang ada di depan mata.

Begitu kubuka pintu tadi. Ada sambutan mewah dan khusus dari sesaji yang ditaruh  di sebuah meja kecil. Aku berjalan mendekat. Ada kembang tujuh rupa, arang hitam, dan daging ayam hitam yang juga waktu itu ibuku masak. Ayam cemani ... digunakan untuk ini?

Kedua bola mataku mengedar ke segala arah. Semakin jelaslah  sesuatu yang teronggok di hadapan.

Nyala lampunya sesekali mengedip. Meja kecil tadi diletakkan di depan dinding yang telah ditempeli sesuatu. Sebuah tombak trisula dengan tiga kepala hewan pengerat di masing-masing ujungnya. Bau menyengat ini bukan hanya dari kemenyan, tapi juga dari aroma tidak mengenakkan dari tiga kepala tikus tersebut. Aku melirik lagi nampan di bawah. Tubuh tikus-tikus itu digambar semacam gelombang tiga buah dan dicoret dari arah berlawanan dengan tiga buah garis warna merah. 

Merinding langsung menjalari seluruh tubuh. Ini lebih menakutkan dari penampakan sesosok hantu. Aku mundur teratur berusaha menggapai pintu. Mataku mengedar berharap tidak ada orang yang akan keluar dari dalam ruangan berpintu gorden di depan sana. Setelah kugenggam gagang pintu. Kakiku refleks berlari keluar rumah.

Tidak kupedulikan suara reot kayu yang kuinjak dengan kasar sampai membanting daun pintunya. Aku harus keluar dari sini!

Langkah kakiku yang cepat dan semakin lama kian berubah menjadi berlari menembus hutan yang gelap dan pekat ini. Benar. Datang ke sini adalah petaka. Petaka yang hampir membuatku terkena serangan jantung. Aku memang terkadang dibuat geram oleh tikus. Namun, membuatnya menjadi seperti itu tidaklah manusiawi.

Kukeluarkan tenaga yang masih tersisa. Dengan terus mendorong angin yang seolah-olah menerjangku dari depan aku berlari semakin cepat. Angin seakan hendak menahanku dan berembus dari arah sebaliknya. Kedua tangan kukepal erat agar langkah kaki semakin cekat.

Sesekali aku menengok ke belakang. Memastikan tidak ada apa pun yang mengejarku. Bagian punggungku merasakan sesuatu yang menjalar. Semua bulu kudukku bergetar hebat sampai pohon besar di depan tidak kulihat dan menabraknya.

"Aw! Aish, siapa yang naro pohon di sini, sih?" Kuusap bagian dahi yang tadi membentur batang pohon. Pohon beringin. Mulutku menganga. Sejak kapan ada pohon beringin yang rimbun sampai akarnya menjuntai ke wajahku seperti ini. Keadaan mulai tidak beres. Kupaksakan kedua lutut untuk berdiri. Kuusap beberapa butir tanah yang menempel di celana. Aku harus lanjut lari dan menuju sekolah.
"Tuh, dia."

"Itu Mira."

"Itu Si Mira, tuh."

Tiga orang murid laki-laki menyorot mukaku dengan senter di tangan mereka.

"Silau, tau!" protesku. Mereka mematikan senter lalu membantuku berdiri.

"Buset nih anak tadi udah pingsan sekarang malah ngedeprok di tengah hutan. Ngapain lu?" Dimas. Ketua kelasku memapah kaki yang setengah pincang setelah jatuh tadi. Kami mulai berjalan menuju sekolah. Untunglah ada kalian. Besok saat masuk akan kutraktir es krim Mang Oleh.

"Terima kasih," lirihku. Bisa kurasakan hawa dingin yang semula mendiami punggung mulai menghilang. Mungkin karena ada teman-temanku di sini. Napasku tersengal. Tadi pingsan dan sekarang pincang. Aku hanya bisa berharap Ibu dan Ayah tidak marah melihatku pulang dengan kondisi luka begini.

Gerbang sekolah mulai terlihat. Berbeda dengan jalur berangkat yang kuambil lewat halaman belakang sekolah tadi. Jalur masuk ke sekolah ini lumayan terang. Ada banyak orang juga yang menjaganya di depan.

"Ketemu? Beneran di hutan?" sapa salah satu orang yang bertugas menjaga gerbang. Dia duduk di sebuah kursi dan meja dengan satu orang lagi yang sibuk memainkan ponsel pintar.

"Iya. Mana lagi ngedeprok di tanah pula."

Mereka yang menjaga gerbang hanya saling pandang lalu menggelengkan kepala.

"Kamu suka banget main ke hutan ya, Dek?" tanya pemuda yang menjadi salah satu panitia itu. Aku butuh obat merah untuk lututku, bukan malah wawancara. Pemuda ini dan seluruh panitia yang ada adalah mahasiswa kota yang mampir untuk sekadar mendedikasikan diri sebagai alumni teladan di SMA tempat mereka lulus.

Aku juga pasti akan meninggalkan sekolah dan desa ini untuk pergi kuliah. Pasti, 'kan?

"Masuk."

Dimas beserta dua temannya kembali memapahku. Gerbang ramai oleh murid-murid yang duduk di halaman sekolah. Kakak Pembina tengah memberikan renungan malam menggunakan mic. Pantas saja aku dicariin. Mereka semua menutup mata dan menunduk. Sebagian---yang kebanyakan dari kaum perempuan---malah sedang menangis tersedu-sedu.

"Duduk dulu aja sini. Nanti diobatinnya abis renungan selesai," pesan Dimas. Aku mengangguk mengiakan dan segera mendudukkan diri di tanah kering ini.

***

Bersambung

MISTERI ORANG HILANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang