Part 1: Pukulan Pertama

15 2 0
                                    


Pukulan Pertama

Setelah semalaman tidak bisa tidur nyenyak, pagi-pagi sekali sebelum matahari terlihat, Rany dibangungkan oleh suara berisik di kamar sebelahnya. Dia menutupi seluruh tubuh dengan selimut, berusaha untuk memejamkan mata kembali. Namun, telinganya menangkap suara tangisan yang dia kenal siapa pemiliknya.

"Hah!" Gadis dengan rambut pendek model shaggy itu menyingkap selimut, meraih cardigan dan segera keluar untuk melihat apa yang terjadi pada ibunya.

Rany melihat pintu kamar ibunya terbuka. Di sana, seorang wanita paruh baya yang badannya gemuk, lengannya bergelambir, dasternya kumal, sedang menutupi wajah dengan kedua tangan. Pundak wanita itu bergetar.

Tangan Rany mengepal. Dipukulnya pintu kamar ibunya. Namun, sang ibu tak mengubah posisinya. Dia masih terduduk di tepi ranjang yang penuh baju-baju berserakan, lalu alat make-up berhamburan di lantai.

"Katakan ini mimpi! Katakan ini tidak nyata! Ini mimpi!" Nyonya Sinta menjerit. Air matanya tidak mau berhenti.

Rany mendekati ibunya. Meskipun tidak  menyukai wanita itu, dia tetap mengusap punggung sang ibu dengan lembut. Meskipun tidak menyayangi wanita itu, dia tetap menahan kata-kata yang ingin sekali diteriakkan di telinga ibunya. 'Sudah kubilang, jangan pernah percaya pada makhluk bernama lelaki!' Begitu teriaknya dalam hati.

"Aku akan memasak sarapan." Rany beranjak, meninggalkan ibunya yang masih terguguk.

Rany mengaduk telur di penggorengan. Tangannya begitu cekatan membolak-balikkan spatula. Memasak sepagi ini membuatnya sedikit kedinginan dan membuat hidungnya seperti tersumbat. Dia meraih tissue di meja, mengusap pipinya yang telah basah.

Lelaki lagi? Lelucon macam apa ini? pikir Rany.

Hidung dan mata Rany merah. Dia baru saja melakukan hal yang baginya begitu memalukan—menangis.

Beberapa menit kemudian ibunya menyusul Rany di dapur. Mata Nyonya Sinta sembab dan ada garis hitam yang melingkari mata itu.

"Aku nggak cantik lagi, ya?" tanya Nyonya Sinta. Suaranya masih sengau.

"Sejak dulu Ibu memang tak cantik. Tukang marah, tukang pukul. Pokoknya Ibu mirip singa mengamuk. Menyeramkan." Rany pura-pura bergidik.

Nyonya Sinta melotot ke arah anaknya dan mencubit lengannya. "Jangan bicara seperti itu pada ibumu! Itu masa lalu, Sayangku."

"Aw!" Rany memekik kecil. Sejak orang tuanya berpisah, ibunya memang sudah tidak senang memukuli gadis itu lagi.

"Semalam ... Ibu bertengkar dengan lelaki itu,'kan?" Rany bertanya hati-hati.

"Ini salah Ibu. Ibu tak bisa merawat diri," ucap Nyonya Sinta.

Rany berdiri, mengambil sarapan yang tadi dimasak. Dia lalu menghidangkannya di hadapan sang ibu bersama segelas cokelat hangat. "Sepertinya Ibu butuh banyak kalori setelah semalaman bertempur," ucap Rany sambil tersenyum.

Nyonya Sinta hanya memandang orak-arik telur yang terhidang di meja. Dia tidak berniat menyentuhnya. Dia sudah kenyang dengan umpatan dari suaminya.

"Sepertinya aku harus memberi pelajaran kepada Tomi. Lelaki itu sudah membuat ibuku seperti mayat hidup."

"Rany, jaga ucapanmu. Dia ayahmu. Dia yang membantu Ibu membesarkan, juga menyekolahkanmu. Bayangkan saja, seandainya tidak ada lelaki itu, hidup kita akan hancur."

"Well, secara teknis dia memang ayahku. Tapi dia lelaki yang sama saja dengan lelaki lainnya. Ibu saja yang bodoh. Kenapa harus mau dengan lelaki seperti dia? Nggak banget!"

Nyonya Sinta berdiri, membanting piring plastik yang berisi orak-arik---membuat isinya berceceran di lantai. Dia duduk kembali, menyesap cokelat hangat.

"Ibu bertahan karena butuh seseorang untuk merawatmu. Ibu ingin kamu bisa sekolah tinggi, mendapat pekerjaan baik di kota, lalu menikah dengan lelaki baik juga, memiliki anak-anak yang sehat, dan—"

"Cukup, Ibu." Rany berdiri. Dia berlalu meninggalkan ibunya yang duduk tertunduk.

"Rany, Ibu belum selesai bicara. Jangan seperti itu pada ibumu!"

Rany tidak acuh. Dia mengangkat satu tangan dan mengacungkan jari tengahnya.

Dia muak kenapa hidup ibunya harus bergantung pada lelaki. Ayahnya baik, tetapi penjudi, pencuri, dan tidak pintar mencari uang. Lalu, ayah tirinya ber-uang, tetapi mata keranjang.

Rany tersenyum sendiri mengingat betapa hidupnya mirip cerita-cerita fiksi yang selalu dibaca oleh orang-orang: tentang anak teraniaya, anak miskin, dan anak yang kurang kasih sayang. Itu menyedihkan.

Rany ingat ketika ibunya menangis karena harus berpisah dengan ayahnya. Dia ingat bagaimana wanita itu memohon agar Rany mau ikut dengannya.

Wanita itu tidak rela jika Rany diasuh sang ayah. "Mau jadi apa kalau besar nanti?" katanya. "Ayahmu gila. Dia suka mengajak pohon dan batu besar berbicara."

Ayah Rany memang suka mengajak bicara pada batu dan pohon besar agar bisa mendapat angka. Setelah angka-angka muncul di kepala lelaki itu, dia akan membelinya ke penjual togel.

Rany juga ingat betapa dulu dia sangat bangga pada sang ayah yang mengajarinya mengambil barang-barang di minimarket tanpa ketahuan. Baginya, itu hal yang keren. Rany ingat ketika sang ayah memujinya ketika dia berhasil mencuri beberapa jajanan. "Anak Ayah sudah makin mahir." Lalu, Rany tersenyum lebar. Mereka kemudian berjalan beriringan di sepanjang trotoar sambil memakan jajanan hasil curian.

"Habiskan jajanannya kalau tak mau dipukul ibumu," pesan ayahnya saat itu.

Rany menoleh kepada lelaki berbaju kumal di sampingnya sambil mengangguk. Dia lalu tersenyum, memperlihatkan giginya yang cokelat karena sisa jajanan ketika sang ayah mengusap kepalanya. "Anak pintar," ucap ayahnya lembut.

Rany tersenyum lagi, tetapi pipinya basah. Gadis itu mengepalkan tangan. Lalu, pikirannya tertuju pada satu nama, Tomi. Dia tak bisa terima jika ibunya disakiti lelaki itu. Apalagi, sang ibu selalu membela lelaki berkumis tipis yang tawanya renyah dan banyak bicara itu. Ini merupakan pukulan keras untuknya.

Gadis itu memasukkan beberapa buku pelajaran  ke dalam tas sekolah, memakai sepatu dan mengikat talinya dengan kencang. Setelah itu dia menyelipkan pisau lipat di balik kaus kakinya yang berlapis.

Mata gadis itu menatap pantulan dirinya di cermin: Gadis berambut hitam dan sedikit berantakan mengenakan seragam putih abu-abu dengan tatapan tajam. Pagi ini, dia siap berangkat ke sekolah.

GelamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang