Part 11: Trust Me

3 1 0
                                    


Dengan ragu, Rany melangkahkan kaki menuju kelas. Dia berhenti sejenak, menoleh kepada Evans, lalu cowok itu tersenyum. Rany menarik napas dalam.

Sebagian temannya menatap gadis itu dengan tatapan jijik. Ketika Rany mendekat, teman-temannya segera menjauh. "Awas, jangan dekat-dekat sama dia," bisik salah satu murid kepada teman di sampingnya.

Rany menuju bangkunya dengan Evans yang senantiasa berjalan di belakang gadis itu.

"Wow, pasangan aneh kita kembali, gaess!" celetuk Adam. Dia menatap mereka berdua sambil tersenyum miring.

"Hati-hati, Dam. Lu mau disembelih ama cewek itu?" ucap Rosita. Gadis itu melirik sinis ke arah Rany.

"Hei, lebih baik kalian jangan deket-deket ama cewek itu!" teriak Adam kemudian. Dia melirik sesaat ke arah Rany yang wajahnya sudah merah jika digambarkan dalam emoticon karena menahan marah.

Lalu, salah satu teman yang duduk di depan bangku Rany tiba-tiba beranjak. Dia takut duduk dekat dengan gadis itu.

Evans tiba-tiba menggenggam tangan Rany sebelum mereka duduk. "Sabar, Ran," ucap cowok itu pelan.

Rany menepis tangan cowok itu. "Jangan pegang-pegang!" ketusnya.

Evans duduk di bangkunya, menatap punggung gadis yang duduk di depannya. Dia tersenyum meskipun baru saja mendapat penolakan. Namun, itu wajar karena cowok itu sudah sedikit tahu sifat Rany yang keras.

***

Bu Gita duduk sambil menatap Rany. "Rany. Tolong jelaskan kenapa kamu membawa pisau ke sekolah?"

Hening. Ruangan 4x4 meter itu sunyi—tidak ada suara selain suara detak jam dinding.

"Rany?" Bu Gita mencondongkan kepala ke arah gadis yang masih diam menunduk.

Rany mendongak, menatap wajah wali kelasnya dan dalam hati berkata, 'Bukan urusanmu!'

"Untuk berjaga-jaga kalau saya membutuhkannya, Bu," jawab Rany.

Bu Gita mengernyit. Dia menarik kepalanya mundur, menyandarkan punggung pada kursi, masih terus mengawasi Rany.

"Membutuhkan dalam hal apa, Rany?"

"Mengupas semangka," jawab Rany tanpa ragu.

Bu Gita mendesah. Wanita itu tidak puas dengan jawaban Rany. "Di mana kamu mengupas semangka?"

"Sepulang sekolah, saya biasanya mampir ke rumah teman saya untuk makan semangka bersama." Rany masih mempunyai jawabannya.

"Teman?"

"Ya. Saya punya teman. Mereka tidak sekolah di sini." Rany terpaksa berbohong karena masih kesal perihal surat yang dikirimkan ke rumahnya. Sejak surat itu datang, ibunya lebih sering mengamuk dan mendiamkan gadis itu.

Bu Gita mengangguk pelan. "Baiklah. Seandainya kamu tidak berangkat hari ini, kamu dianggap keluar dari sekolah. Satu lagi, kamu harus meminta maaf kepada Onad."

"Bagaimana, Rany? Kamu mau meminta maaf dan mengakui kesalahanmu kepada Onad, kan?"

"Tapi Adam juga harus minta maaf kepada Evans." Rany memberi usul. Dia pikir tidak adil jika hanya dia yang harus minta maaf kepada Onad.

Bu Gita akhirnya mengangguk. "Ya. Ibu setuju." Wanita itu lalu tersenyum hangat.

***

Seperti biasa, Evans mengikuti Rany ketika pulang sekolah. Setiap Rany berhenti, Evans ikut berhenti. Ketika Rany berjalan cepat, Evans akan berjalan cepat. 'Dan' ketika Rany berjalan pelan, Evans pun berjalan pelan.

"Kamu kumat, ya?"

"Kenapa, Ran? A—aku ...." Evans menunduk. Cowok itu mendadak tidak berani menatap mata cokelat milik Rany.

"Apa?" Rany bertanya. Seperti biasa, nadanya selalu ketus. Namun, hal itu malah membuat Evans tersenyum tipis.

"Dasar bodoh," gumam Rany, lalu kembali berjalan.

Rany sudah berdiri di depan gerbang, menunggu angkot. Evans ikut berdiri di samping gadis itu.

"Kali ini aku ada urusan. Nggak usah ngikutin!" ucap Rany ketus.

"Tenang, Ran. Aku sekarang nunggu sopir. Mamaku ...."

"Dasar anak mami!" olok Rany. Gadis itu tiba-tiba ingin memaki cowok di sampingnya. Entah kenapa dia menjadi kesal mendengar jawaban Evans.

Beberapa menit kemudian, mobil Avanza silver berhenti tepat di depan Evans. Cowok itu melangkah mendekati mobil tersebut.

"Ran. Aku—" Evans menoleh, menatap Rany beberapa detik. Sebenarnya dia ingin sekali mengikuti gadis itu, seperti biasa. Meskipun terkadang gadis itu suka membuatnya takut, tetapi bagi Evans: Rany tetaplah pahlawan baginya.

"Aku duluan, ya," ucap Evans kemudian sambil membuka pintu mobil.

Rany tidak menyahut, melirik pun tidak. Hingga mobil itu melaju dan menjauh, Rany masih berdiri di tempat semula. Pikirannya tiba-tiba kalut. Padahal gadis itu ingin sekali mengenalkan Evans dengan teman-teman barunya.

***

Rany duduk di warung mi ayam bersama Men, Gimbal, dan Kru. Mereka makan siang di sana.

"Makasih. Kalian udah jadi temanku selama ini. Walau baru kenal beberapa hari, tapi aku udah nyaman sama kalian," aku Rany.

"Santuy, Ran. Kita juga seneng bisa kenal lo," ungkap Kru.

"Lu fokus sekolah dulu aja, Ran. Tapi inget, jangan kapok ngumpul ma kita-kita,"
kata Men.

"Yo'i!"

Lalu, percakapan mengalir begitu saja. Rany menceritakan masalah yang dia alami.

"Udah nggak waras lelaki itu!" Men geram
mendengar cerita Rany.

Gimbal dan Kru mengangguk. "Kita samperin lagi, yuk!" ajak Kru.

Rany berkata, "Sabar, gaess. Aku bisa atasi, kok."

"Nggak bisa. Kita temenin lu ke tempat lelaki itu."

"Gue setuju sama Men," ucap Gimbal.

"Ayo! Kita ke sana sekarang!" Men berdiri. Dia merogoh dompet hitamnya yang menyatu dengan rantai di celananya.

"Hah?" Rany terlihat bingung. "Sekarang?"

"Tenang, Ran. Kita nggak akan pake kekerasan. Kita cuma pengen kasih pelajaran buat ayah tiri lu. Ayok!"

"Tunggu. Tomi biasanya pulang kerja jam lima sore. Dan aku harus pulang sekarang."

Mereka bertiga menatap Rany.

"Yaudah, kasih alamat Tomi aja. Dijamin nanti malam dia akan pulang ke rumahmu untuk minta maaf sama ibu lu," ucap Men. "Trust me," lanjut lelaki itu.

Rany tidak langsung menjawab. Dia menatap lelaki berambut seperti kipas itu lama. Ada keraguan di hati Rany. Tidak seharusnya mereka ikut campur dengan urusanku, pikir Rany. Namun, bayangan wajah ibunya yang selalu murung hinggap di benaknya. Lagipula, gadis itu pernah bilang akan memperbaiki semuanya.

"Oke," ucap Rany kemudian. Gadis itu akhirnya memberikan alamat Tomi kepada Men.

***

Seperti biasa, sebelum tidur, Rany resah. Kali ini karena dia memikirkan apa yang akan dilakukan oleh teman-temannya kepada Tomi. Sebenarnya keinginan Rany cukup sederhana: Dia ingin Tomi pulang meminta maaf kepada sang ibu meskipun sebenarnya Rany sudah muak dengan lelaki itu. Lelaki macam apa yang berani menyakiti seorang perempuan?

Perlahan, mata gadis itu terpejam. Dia akan memercayai ucapan Men bahwa lelaki itu akan membantu menyelesaikan masalahnya.

GelamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang