Part 6: Patah

3 1 0
                                    


Rany mengamati Evans yang sedang duduk tidak tenang. Cowok itu mengentak-entakkan kakinya ke paving. Kepalanya mengangguk-angguk.

Lama-lama Rany merasa risih. "Kamu kenapa, sih?"

Evans menghentikan gerakannya. "Eh ...."

"Kamu pulang aja."

Evans menggaruk kepala. Dia sempat  berpikir untuk memesan taksi online. Namun, tiba-tiba Rany mengajaknya beranjak.

"Kita pergi." Rany berdiri, menatap gerbang tinggi yang masih tertutup rapat—tidak ada tanda akan dibuka.

"Ke mana?"

"Entah." Wajah Rany murung.

Evans berjalan mengikutinya di belakang. Namun, tiba-tiba Rany berhenti menunggu Evans. Gadis itu lalu berjalan kembali setelah mereka berdiri sejajar.

"Tomi ayah tiriku," ucap Rany. Dia berjalan pelan.

Gadis itu tiba-tiba ingin membicarakan banyak hal kepada Evans. Dia juga ingin sekali menangis sejadi-jadinya. Namun, gadis itu sebenarnya tidak suka menangis.

"Kamu pulang sana." Tiba-tiba Rany sadar kalau mereka makin akrab. Dia tidak ingin memiliki teman. Itu sebabnya, dia selalu menyendiri di sekolah.

Dulu waktu SD Rany memiliki banyak teman karena gadis itu sering berbagi makanan. Hingga akhirnya ada yang menyebar berita bahwa Rany mendapatkan makanan itu hasil curian. Semua teman lalu menjauhinya. Karena sakit hati, Rany memiliki kebiasaan baru yaitu mengambil uang mereka. Namun, hal itu tidak berlangsung lama karena Rany tertangkap basah. Sejak itu teman-teman Rany makin membencinya.

"Kamu pulang kapan?" tanya Evans.

"Aku gampang. Buruan pulang sana!"

Tanpa berpikir lama, Evans memesan taksi online. Beberapa menit kemudian taksi datang.

Rany mengamati Evans masuk ke dalam taksi. "Anak orang kaya," gumam Rany.

***

Ketika jam istirahat Evans tidak lagi mengikuti Rany. Dia benar-benar takut kepada Rany ketika mendengar ucapan gadis itu kemarin: 'Aku mau kasih pelajaran buat Tomi.'

Sebenarnya Evans cukup penasaran apa yang dialami oleh gadis itu. Jika teringat Rany yang membawa pisau, lalu berlari dengan lincah, rambutnya berantakan, dan kulitnya gelap, Evans jadi teringat dengan seorang gadis dalam game yang dia mainkan.

"Hei!" Seseorang menepuk pundak Evans. Cowok itu terperanjat. Dia menoleh kepada gadis yang sedang tertawa cekikan.

"Ke belakang, yuk!" ajak Rany.

"Ha?" Evans melongo.

Rany menoyor kepala Evans. "Aku tunjukkan sesuatu."

Evans menurut. Dia mengikuti langkah gadis itu.

Mereka akhirnya sampai di belakang gedung laboratorium. Di sana sepi, bahkan nyaris tidak pernah ada orang yang ke sana.

"Kita mau ngapain di sini?" Evans menatap sekeliling.

Rany merogoh saku, mengambil bungkus rokok yang isinya masih tiga batang.

"Cobain!" Rany menyodorkan bungkusan rokok itu. Evans mundur pelan.

"Kenapa?"

"Nikotin bisa menyebabkan peradangan paru-paru. Aku .... Maaf, aku tidak akan mencobanya."

"Cemen. Kamu enggak akan mati kalau cuman isap sebatang doang."

Evans menggeleng cepat.

"Bodoh. Ini menenangkan tauk!"

"Lebih menenangkan mendengarkan Beethoven."

Rany nyaris saja tersedak asap karena mendengar ucapan Evans.

"Seleramu kuno."

"Eh, pegangin bentar." Rany menyerahkan rokok di tangannya kepada Evans. Gadis itu lalu membungkuk, membetulkan tali sepatunya. Itu adalah adegan favorit Evans.

Evans memandang gadis itu tanpa berkedip. Sayangnya, dia harus dikejutkan kembali pada pemandangan mengilukan di lengan Rany.

"Ran ...."

"Apa?"

"Tanganmu ...."

Rany bergegas menyembunyikan tangan di balik punggung. Dia lalu mengepulkan asap rokok ke wajah Evans. Cowok itu terbatuk dna membuat Rany cekikikan. "Bodoh."

"Tanganmu kenapa?"

Rany berhenti tertawa. Dia membuang puntung rokok dan menginjaknya.

"Bukan urusanmu!"

"Ka-kamu mau bunuh diri, ya, kan?"

Rany menatap lekat pada mata sipit Evans yang terhalang kacamata. Wajah mereka begitu dekat. "Jangan sok peduli," ucap Rany.

Rany lalu berbalik dan pergi meninggalkan Evans.

Gadis itu hanya tidak ingin ada yang menanyainya karena dia sendiri tidak tahu jawabannya. Dia tidak tahu mengapa semalam dia mencoba ingin mati ketika mendengar ibunya tertawa sendirian di dalam kamar.

Seperti biasa, malam itu sekitar pukul sebelas, gadis itu berdiri di depan pintu kamar ibunya yang tertutup. Terkadang gadis itu mendengar suara berisik seperti suara benda yang dilempar. Terkadang dia juga mendengar ibunya sesekali tertawa, diam, tertawa, dan diam lagi. Lalu, beberapa menit kemudian dia mendengar ibunya berteriak.

Gadis itu tidak tahan mendengar raungan sang ibu. Ada perasaan perih seperti tertancap kaca pecah pada bagian dadanya. Dia lalu kembali ke kamarnya, membuka laci dan melihat silet di sana. Dia mengambil satu silet, mendekatkannya ke lengan. Dia memejamkan mata ketika perlahan silet itu menyentuh kulit tangan, menggores kulit luarnya. Suara entakan benda keras dari kamar sang ibu membuat gadis itu membuka mata, menarik silet menjauh dari lengannya yang sudah mengeluarkan sedikit darah. Dia lalu terduduk di lantai sambil menangis.

GelamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang