Part 22: Sesuatu yang Baru

1 1 0
                                    



Sesekali, gadis itu ingin menjauh dari rumahnya beberapa hari. Dia muak dengan hari-harinya. Akhir-akhir ini, kemarahan ibunya makin tidak terkendali. Bahkan, ibunya bisa berteriak hampir tujuh kali dalam sehari.

Hal yang membuat Nyonya Sinta selalu marah adalah lagi-lagi masalah uang. Setiap bulan dia ditagih pemilik kontrakan. Wanita itu tidak mungkin kembali ke kampung. Dia harus bertahan untuk beberapa bulan saja sampai Rany lulus.

Malam itu Nyonya Sinta masuk ke kamar anaknya. Dia tahu pasti sang anak belum tidur meskipun malam sudah larut. Bahkan, udara di luar makin dingin.

"Ran ...." Wanita itu mengetuk pintu. "Rany ... kau sudah tidur?" Dia kembali mengetuk pintu.

Karena tidak ada jawaban, wanita berdaster itu membuka pintu. Dia melihat putrinya sedang duduk menghadap jendela.

Ketika wanita itu masuk ke kamar putrinya, bau asap rokok tercium olehnya. Dia menatap sekeliling: kamar yang berantakan. Lalu, wanita itu sadar selama ini dia tidak pernah memperhatikan putrinya.

"Rany ...." Wanita itu mendekati anaknya yang tampak sedang menatap ke luar.

"Ibu ... sepertinya tidak sanggup lagi. Bisakah kau ...." Tiba-tiba dia menangis.

Rany menoleh setelah membuang puntung rokok keluar melalui jendela. "Jangan pikirin aku. Ibu cobalah tidak terlalu memikirkan orang lain."

Nyonya Sinta duduk di tepi ranjang. Dia mengusap air matanya. "Ibu ... merasa tak berguna. Ibu bukan Ibu yang baik."

"Rany tahu."

"Kalau Ibu tak sanggup membayar kontrakan ini ... kita akan pindah ke kampung. Maafkan—"

"Ibu khawatir tentang sekolah Rany, 'kan?" potong Rany.

Nyonya Sinta bergeming. Anaknya benar, dia sangat memikirkan bagaimana kelanjutan pendidikan anaknya jika mereka pulang ke kampung dan mereka benar-benar tidak memiliki uang yang tersisa.

"Tenang aja, Bu. Rany juga udah bosan sekolah di sana. Isinya orang-orang bodoh."

Rany mengeluarkan satu batang rokok lagi. Dia tidak peduli ketika ibunya kembali menangis.

***

Evans sedang menelepon sang ibu ketika dia sudah sampai di sekolah. Lalu, Rany yang mendengarnya pun tertawa kecil.

"Dasar anak mami," olok gadis itu.

Evans membalas dengan senyuman. Dia memilih mendengarkan musik. Beruntung sekolah ini mengizinkan untuk membawa ponsel. Jika tidak, cowok itu makin bosan menjalani harinya.

Merasa tidak dihiraukan, Rany melepas headset di telinga Evans.

"Hei! Kenapa harus kelinci?" tanya Rany sambil memegang casing ponsel Evans.

Evans tersenyum. "Kakakku menyukai hewan kelinci," jawabnya.

Rany mengangguk pelan. "Terus, apa yang kamu suka?"

Pertanyaan Rany membuat Evans berpikir. Cowok itu tidak tahu apa yang sebenarnya dia sukai. Dia bahkan tidak pernah mendengarkan musik lain selain musik yang selalu didengarkan almarhum kakaknya. Cowok itu juga belum pernah memakai baju warna gelap. Dia terobsesi dengan kakaknya.

"Aku ... entahlah. Aku tak pernah memikirkannya."

Rany menatap Evans. Gadis itu berpikir betapa hidup cowok di depannya begitu datar, tetapi tampak menyenangkan.

"Apa kamu enggak pernah mencoba mendengarkan musik lain. Lagunya Cradle of Filth misalnya?

Lagunya enak banget. Kalau enggak salah ingat, aku mendengar lagu itu ketika membeli pulsa di konter. Aku pun bertanya kepada penjaga konter soal lagu itu. Dan sejak itu, aku langsung suka. Coba, deh, kamu dengerin." Rany berceloteh panjang lebar, membuat Evans keheranan.

GelamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang