Chapter 1 : Is it okay, to be this fast?

28 8 2
                                    

Dentuman musik tak hentinya mengalir di telingaku. Hari ini memang shiftku bekerja di sebuah bar yang cukup terkenal di daerah ini. Bar Phoenix. 

Sebenarnya aku disini bukan benar-benar bekerja melainkan hanya membantu temanku yang kebetulan pemiliknya meramaikan bar ini. Oh ya perkenalkan namaku Susan, disini aku sebagai pengawas yang mengawasi bartender-bartender dan lain sebagainya dalam bekerja, sesekali menyapa pelanggan tetap bahkan tertawa bersama.


"Sha, mana Tata?" tanya Lisa, pelanggan tetap juga kekasih dari dj kami, Tata.

"Hari ini dia ga masuk, itu diganti Ojun" jawabku seraya menunjuk Juno, dj tidak tetap kami dengan dagu.

"Haa...gue ga denger kabarnya dari pagi makanya gue kesini. Kirain dia dateng" ucap Lisa, yang duduk di sebelah Grace, salah satu langganan Phoenix juga.

"Ada yang mau kenalan sama lu Sha" ucap seseorang disebelah Grace yang tak kuketahui namanya.


Ku perhatikan gerak-gerik wanita tadi yang masih asik memainkan es batu di gelas birnya.


"Itu!" tunjuknya kemudian kepada seseorang pria yang sedang berjalan mendekat.


Badannya tinggi, kulit kuning langsat, rambut yang bergelombang dan hidung yang tinggi. Dia berjalan santai, lebih kearah tidak memperhatikan siapapun yang ia lewati.


"Eh Lix, sini, iniloh yang namanya Susan" ucap wanita tadi.


Aku hanya menatap Grace dan Lisa bingung. Ya aku bukan tipe orang yang cepat akrab entah itu pria maupun wanita. Kulihat Grace hanya menggendikkan bahunya, memberi isyarat untuk semuanya akan baik-baik saja. Kulihat pria itu mengulurkan tangan, untuk beberapa detik aku hanya termangu melihat tangan panjangnya, cantik batinku, sebelum kusalami.


"Susan" ucapku pelan yang dijawab dengan "Alvaro Felix" nya bersamaan dengan senyum lebar itu. Sial. Tembokku runtuh.




Malam mulai berganti pagi dan akupun bersiap untuk pulang. Dengan dentuman musik yang masih berlanjut, aku keluar dari bar melewati pintu belakang. Sedikit menghela napas lega, kumulai melangkah sambil membalas chat yang belum aku balas. Baru juga beberapa langkah, aku dipaksa berhenti dengan penampakan kaki didepanku.


"Jun udahlah pulang aja besok sama si Yeri aja duitnya" ucapku asal.

"Tapi gue bukan Jun" suara berat itu membuatku mendongakan kepala. Oh, Felix.

"Kirain Ojun hehe, ada apa ya?" tanyaku disertai cengengesan salah tingkah karena hal sebelumnya.

"Boleh minta kontaknya? Gue mau berteman" masih dengan wajah datarnya Felix meminta kontakku. Aku pun segera memberikan kontakku "imnotyours kecil semua" jawabku.

"Makasih, ntar gue chat yaa!" serunya beberapa menit kemudian sambil berlari kecil pergi meninggalkanku sendiri. Aku hanya mengangguk kecil setelah kepergiannya. Terus melanjutkan langkahku pulang kerumah.


Sesampainya dirumah, aku segera mengganti baju, melemparkan tasku diatas kasur dan menatap langit-langit. Bagaimana bisa aku jadi seperti ini? Pikirku melayang pada kejadian tahun lalu, ketika hubunganku dengan mantan pacarku mulai tidak akur, kemudian aku mengiyakan ajakan Eric, seorang pelanggan bar untuk berpacaran, hanya demi melampiaskan kekesalanku pada sang mantan.

Sebenarnya sudah banyak yang mengenalnya, Jeffrey, namanya. Mantanku, sekaligus another level of pain yang membuatku mencoba hal-hal ekstrim. Dari selfharm sampai percobaan bunuh diri. 

Dia yang memberi sakit sekaligus obat bagiku. Dia anak yang baik sungguh aku tidak bohong tentang hal ini, beberapa kali dia menyatakan ingin menikahiku dan lain sebagainya. Tapi dia juga orang yang jahat, tidur dengan wanita yang dia sebut sebagai 'anak teman mama' nya itu.

Kepalaku terasa pusing ketika mengingat kembali kejadian dimana ibunya dengan segala cacian dan makian tidak merestui hubungan kami, dia dengan segala support system berusaha meyakinkanku bahwa hubungan beda agama ini akan berhasil, dan Eric. 

Eric, seseorang yang kujadikan pelampiasan, pun dia menjadikanku selingkuhan. Aku tau ketika dia mengataiku sebagai wanita tidak punya otak, karena tidak memberikan kabar ketika aku di rumah sakit. Pria berdomisili Banten itu, terlihat sakit hati, tapi bukan karena aku, melainkan orang lain.

Memutuskan untuk melihat handphoneku yang sudah berdering sedari tadi, dan membalas beberapa chat sebelum ada satu chat yang sangat mencolok di notifikasiku. Alvaro Felix.



Alvaro Felix

Hey ini gua

Disave woy, Felix

iyaa

read



Kubalas seadanya, tanpa aku tahu bahwa sebuah perkenalan ini yang menjadi titik balik dalam hidupku.


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.









Untuk karakter lain bisa dibayangkan dengan bebas. Cerita ini murni kisah nyata dari penulis, meski beberapa kejadian, tempat, dan waktu disamarkan untuk menghormati privasi masing-masing pihak yang terlibat didalamnya.

psyseirenes

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 12, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

RhopaloceraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang