"Hinata, ayolah ceritakan soal belahan jiwamu. Kau tidak pernah menceritakannya sama sekali."
Sebuah permintaan dari Sugawara yang mampu membuat jantung Hinata berpacu cepat. Napas yang awalnya konstan itu perlahan mulai memburu. Kegelisahan itu kembali terkumpul lalu bergerumul di perut membuat sang pemuda berkeinginan untuk mengeluarkan isi perutnya.
Segera saja sang pemuda mengeluarkan senyum cerah untuk menutupi kondisinya yang tiba-tiba memburuk. Kekehan dikeluarkan untuk menutupi ekspresi mual yang dirasakan. "Aku tak pernah menceritakannya karena merasa ... itu privasi yang tak perlu diumbar-umbar, begitu, hehe."
"Hmm, privasi sungguhan atau ..."
Terlihat Sugawara menampakkan tampang jahil, sedangkan Hinata sendiri sedikit panik akan kelanjutan kalimat dari seniornya itu. 'Semoga saja bukan kalimat itu.'
"... atau sebenarnya kau sudah bertemu dengannya, ya? Belahan jiwamu pasti orang yang kita-kita ini kenal makanya kau tidak mau memberitahu. Iya, kan? Siapa, hm? Jangan-jangan ... Yacchan ya?" goda Sugawara sambil menaik turunkan alisnya. Kelanjutan ucapan Sugawara itu membawa kelegaan pada diri Hinata walau selanjutnya ia harus mati-matian mengelak ucapannya.
Obrolan reuni klub jurnalistik SMA setelah tiga tahun itu dipenuhi canda tawa juga selingan obrolan serius soal pekerjaan dan hal-hal yang dilakukan saat ini. Pertanyaan Sugawara tentang belahan jiwa Hinata teralihkan dan terlupakan begitu saja dengan cepat yang membuatnya merasa lebih lega.
Ya, selama tiga tahun ini Hinata selalu menghindar jika ditanyai soal belahan jiwanya, bahkan oleh ibunya sendiri. Itu dikarenakan ia sama sekali belum pernah mendengar tangisan sang hawa. Setelah ulang tahunnya yang kedelapan belas, pemuda itu pikir suatu saat nanti ia akan mendengar tangisan sang hawa. Namun, sampai saat ini, detik ini, tiga tahun terlewati, ia tidak pernah mendengarnya sama sekali.
Hal itu pun membuat ia menyimpulkan bahwa dirinya ini termasuk bagian dari mereka. Orang-orang yang disebut eternal loner alias orang-orang yang ditakdirkan tidak memiliki belahan jiwa. Tiga tahun tidak mendengar tangisan sang hawa bukanlah hal yang wajar. Perempuan manapun pasti pernah menangis walau mereka memiliki hati sekuat baja sekalipun. Oleh karena itulah, Hinata beranggapan dirinya demikian.
Lalu, mengapa ia tidak ingin menceritakannya kepada siapapun? Itu karena menjadi bagian dari eternal loner adalah sebuah aib. Orang-orang yang tidak memiliki belahan jiwa dianggap sebagai kutukan dunia. Ya, dunia ini diciptakan dengan masing-masing insan memiliki belahan jiwa mereka. Lalu, ntuk apa diciptakan manusia tanpa belahan jiwa di dunia ini? Yang ada mereka hanya akan mati sendirian tanpa keturunan. Oleh karena itulah, eternal loner dianggap aib dunia. Maka dari itu, mereka pun dikucilkan.
Hinata tidak mau kehidupannya bertambah buruk jika ia mengaku tak pernah mendengar tangisan belahan jiwanya. Ia saat ini sedang berjuang di semester akhir perkuliahan juga sibuk meniti karir guna mempersiapkan kehidupannya yang sepi di masa tua nanti. Ia tidak ingin mati membusuk karena ketidakadilan dunia pada manusia-manusia tak sempurna. Ia ingin mati dengan damai tanpa mendengar ocehan manusia tentang dirinya.
Pemuda itu juga berencana untuk menghilangkan jejak dari keluarga dan teman-teman dekatnya ketika ia beranjak usia 30-an. Di umur segitu pasti ia sudah ditanya-tanyai perihal pasangan. Biarlah mereka menyadari sendiri bahwa dirinya termasuk eternal loner. Toh, selepas itu mereka tidak bisa mengusiknya karena Hinata telah memutuskan semua kontaknya. Rencana yang tersusun begitu apik.
Hinata sama sekali tak menyesal saat memikirkan jika rencananya itu menjadi kenyataan. Lagipula ia ingin sekali terbebas dari perasaan gelisah yang selalu mengganggunya ketika ditanyai soal belahan jiwa. Gangguan kecemasan yang diidapnya benar-benar membuatnya muak. Pemuda itu ingin kembali hidup nyaman tanpa pil-pil penenang.
Namun, semua rencana akan masa depannya itu seketika runtuh kala di perjalanan pulang selepas reunian. Ia mendengar tangisan. Ya, tangisan, tangisan seorang perempuan. Tangisan itu terdengar dari dua arah. Tangisannya terdengar jelas di dalam kepalanya dan terdengar samar-samar dari kejauhan di telinganya.
Tangisan di dalam kepalanya itu semakin kencang, begitu pula yang ia dengar dari telinganya membuat Hinata tahu arah dari mana tangisan itu berasal. Hinata pun berdiri kaku dengan tatapan kosong. Jalanan tengah malam yang begitu sepi membuat tiadanya tatapan heran mengarah padanya yang menghentikan langkahnya tiba-tiba.
Tangisan yang ia dengar di dalam kepalanya itu begitu jernih dan memilukan. Seolah-olah gadis itu mengeluarkan semua beban yang ada di dalam dirinya. Hal itu membuat sifat empati Hinata bergejolak.
Tangisan itu benar-benar nyata. Bukan ilusi maupun halusinasi. Hinata mendengarnya dalam keadaan seratus persen sadar. Ia tidak mabuk juga tidak mengonsumsi obat yang membuatnya berhalusinasi. Pemuda itu benar-benar mendengar tangisan sang hawa yang menjadi belahan jiwanya.
Hal itu membuat dadanya terasa sesak. Berbagai perasaan terkumpul menjadi satu di dalam dirinya. Bahagia, sedih, simpati, dan amarah. Kemudian perasaan-perasaan yang terkumpul menjadi satu itu diekspresikan menjadi tawa yang tak wajar disertai tangisan tanpa suara. Hal itu beriringan dengan tangisan sang hawa yang semakin pedih di dalam kepalanya.
Di dalam hati, Hinata telah mengirim seribu umpatan kepada Tuhan yang telah mempermainkannya selama tiga tahun. Membuatnya mengalami gangguan mental dan pesimis terhadap masa depan. Membuat sang hawanya tidak mengeluarkan tangis selama tiga tahun lamanya. Kehidupan macam apa yang dijalani belahan jiwanya sehingga ia mengeluarkan tangis yang begitu memilukan seperti ini? Juga, mengapa bisa-bisanya Tuhan menyusun takdirnya semacam ini? Apa Tuhan tidak menyayangi dirinya dengan sang hawa sehingga kehidupan mereka hanya berisikan hal-hal pahit? Semua itu berputar-putar di dalam kepalanya tanpa jawaban hingga akhirnya hanya satu yang bisa Hinata katakan disela tawa dan tangisannya.
"Keparat."
◈ ━━━━━━ ● ━━━━━━ ◈
◈ ━━━━━━ ● ━━━━━━ ◈
KAMU SEDANG MEMBACA
Cry and Laugh ✓
Fanfiction[Hinata Shouyou x OC] Delapan belas tahun, kita bertemu melalui suara. · Hinata Shouyou tidak pernah mendengar tangisan sang hawa yang menjadi belahan jiwanya selama tiga tahun. ──────────────────────── Haikyu!! © Haruichi Furudate Cry and Laugh Pro...