Mataku terpaku pada lukisan di hadapanku. Art exhibition adalah hal yang aku hindari sejak tiga bulan lalu. Namun, hari ini dengan sedikit keberanian dan niat agar tidak terbelunggu pada masa lalu, aku berdiri disini. Di depan lukisan hitam putih dengan gambar side profile seorang perempuan yang menatap kosong apapun yang ada di depannya.
Truly, Madly, Deeply
Tubuhku kaku membaca tulisan yang tertera di pojok kanan bawah dari lukisan ini.
"Lovely isn't it?"
Aku menoleh pada wanita di sampingku.
Ia tersenyum, "Saya lihat kamu memandangi lukisan ini lebih dari sepuluh menit. Sama halnya seperti yang saya lakukan saat pertama kali melihat lukisan ini." Ia mengedarkan pandangan, "it was ... meaningful. Seperti ada kerinduan yang terpendam dari lukisan ini, seperti banyak hal yang ingin si pelukis sampaikan."
Matanya beralih pada lukisan, lalu terpaku pada wajahku.
"Eh? Ini cuman perasaan saya aja, atau kamu mirip sekali, ya? Sama lukisan ini."
Aku tertawa kecil. "Perasaan aja, mungkin."
***
"Di, mau sampai kapan lo lembur terus cuman buat ngalihin pikiran lo tentang dia?" Suara Putri, sahabatku terdengar. Kubikel tempat kerjaku persis di samping tempatnya.
"Diem."
"Kalau lo sakit, masuk rumah sakit kayak kemarin, gue gak mau ngurus."
"Iya."
"Diana!"
"Ya ampun, apa?" Aku menyerah, berhenti mengerjakan laporan dan memandang Putri yang sekarang tengah berdiri di hadapanku dengan wajah jengkel.
"Move on, Diana."
"I'm trying."
Putri menghela napas, ia mungkin tahu perdebatan ini tidak akan selesai. Memilih mengalah dan mengatakan ia pulang duluan karena pacarnya sudah menjemput. Ah, love birds.
Aku menatap bingkai foto di samping laptopku, dua manusia dengan latar belakang pantai yang kalah indah dengan senyum laki-laki yang tengah merangkul wanita disampingnya. We're so happy. Berkali-kali Putri mengatakan untuk tidak memajang foto itu lagi— agar aku tidak terus-terusan teringat masa lalu yang membuatku sesak. Namun, aku ingin menyimpan dan melihatnya setiap hari, untuk mengingat hal-hal menyenangkan dan berarti dari laki-laki ini. Banyak hal yang kulalui bersama laki-laki ini, banyak pelajaran yang kudapat. Mungkin, mungkin saja nanti semua tentang laki-laki ini akan kusimpan dan hanya akan kuingat di memoriku, jika aku sudah mendapatkan tambatan hati yang baru.
Tiga bulan. Tiga bulan waktu yang kubutuhkan untuk menerima keadaan kalau aku sudah berpisah dengannya. Untuk memberanikan diri datang ke art exhibition tempat pertama kali kami bertemu, coffee shop dengan perpustakaan yang menjadi tempat kami menghabiskan waktu di akhir pekan, atau bahkan pantai tempat kami melepas penat. Every places, there's his presence that grow.
I love him that much.
Sama sekali tidak pernah terbayang kalau-kalau ini semua harus berakhir.
Aku tersenyum miris, "I miss you, Ai."
Mengatur napasku, menghentikan kenangan tentangku dan Aidan, aku merapihkan meja kerja dan bergegas menuju apartemen, sebelum Putri kembali dan menyeretku pulang.
Aku membersihkan diri, membuat makan malam dengan mie instan. Mungkin jika Aidan masih bersamaku, memakan mie instan adalah hal terakhir yang akan aku lakukan, atau mungkin tidak sama sekali. Kata-katanya selalu sama, "Mie instan nggak baik, Di! Aku bisa bikinin kamu makanan yang lebih enak dan sehat, just don't eat that, i'll make you proper dinner." Setelahnya, semua stok mie instan di apartemenku akan hilang dalam sekejap.
Aku mentertawai diri sendiri, bahkan hal sekecil itu tidak hilang dari ingatanku. Melihat dapur apartemenku yang terdapat beberapa lukisan yang Aidan buat untuk membuat dapurku lebih berwarna. Karena selain studio melukis, dapur adalah tempat kesukaannya. He loves cooking, i can tell.
"Dianaaa! Gue lagi di art exhibition tempat biasa lo dan Aidan pacaran, gue kaget banget liat muka lo mejeng disini, anjir."
Aku tertawa mendengar suara Tara di telepon. "Woaa, calm down, Tara."
"Gimana gue bisa kalem! He's really into you."
Aku tersenyum, "So am i."
Setelahnya kami berbincang hal-hal kecil, Tara ini termasuk salah satu teman dekatku, she's lovely and kind.
"Enjoy your night, Tara. I got a lot things to do."
"Okay, catch you later, Di!"
Lukisan yang di maksud Tara, sudah kulihat minggu lalu. Speechless? Tentu saja. Lukisan yang Aidan buat dan ternyata sudah di jadwalkan untuk dipajang.
Lukisan dengan tulisan Truly, Madly, Deeply yang aku sangat tahu maksud dari tulisan itu.
Aku bahkan tidak tahu kapan Aidan membuat lukisan itu, dan tentu saja melihat lukisan itu terasa menyesakkan. Wanita yang kutemui tempo hari di art exhibition itu benar, itu wajahku, dan ia tidak salah ketika banyak kerinduan dan hal yang ingin Aidan sampaikan dari lukisan itu. Seperti aku yang ingin menyampaikan banyak hal padanya.
***
Sore ini langit tampak indah, meneduhkan, seperti ingin menyampaikan padaku bahwa semua akan baik-baik saja. Aku mendongak, menghalangi air mataku agar tidak tumpah.
"Hi there, Handsome." Bibirku kelu. Namun, banyak hal yang ingin aku sampaikan. "It's been a while. Udah lama, ya, Ai. Terakhir aku ketemu kamu?"
"Aku kangen banget, Ai. I've been through hard times without you. Tapi dari situ aku belajar banyak hal. Sama seperti sebelum-sebelumnya, kamu selalu ngajarin aku banyak hal."
Aku mengusap batu nisan dihadapanku, "Di sana ... udah gak sakit lagi 'kan, Ai? Kamu harus happy, loh. Jangan khawatirin aku dan yang lain di sini, ya. Kami semua, apalagi aku udah belajar ikhlas. Enggak gampang, Ai. Susah banget, sakit banget. Tapi aku tau pasti kamu maunya aku happy kayak kamu sekarang yang udah gak sakit lagi." Air mataku luruh, tidak bisa dibendung lagi.
"Waktu itu Raka bilang sama aku, Ai. Teman kamu yang super bawel itu. Dia bilang kamu melukis gambar aku pas kamu di rumah sakit, ya? Pantesan ibu-ibu yang ketemu aku di art exhibition bilang banyak kerinduan dan hal yang ingin disampaikan dari si pelukis lewat lukisan itu." Aku tertawa pelan, menatap nanar nama yang tertera di batu nisan, nama laki-laki yang selalu memperlakukanku dengan baik, selalu menyayangiku setulus hati selama tiga tahun penuh. Laki-laki yang berjuang sekuat tenaga melawan penyakitnya.
Aku ikhlas. Mulai memahami bahwa Tuhan tidak pernah tidur dan selalu ada hal baik di semua skenario-Nya. Sesakit apapun yang kita rasakan sekarang, aku yakin akan berakhir dan terganti dengan hal yang baik.
"Terimakasih, ya, Aidan. Kamu mengajarkan aku banyak hal sekalipun saat kamu udah enggak bareng sama aku lagi di sini. Aku belajar menerima keadaan, focus on the goods. Aku yakin ini yang terbaik untuk kita, terbaik untuk kamu. Terimakasih juga lukisannya, Aidan. Dengan kata-kata yang selalu kamu ucapin untuk aku."
"I'm truly, madly, deeply in love with you too, Aidan. Bahkan mungkin ketika nanti aku harus menikah dan mencintai orang lain, kamu akan tetap punya tempat sendiri di hati aku."
Truly, Madly, Deeply
Selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Short Escape
Short Storyshort story you might need to read. *** cover: pinterest