BAB 12

281 6 0
                                    

VOTE SEBELUM BACA!!


FAITH

           
Seminggu ini aku tidak mendengar kabar dari Justin. Aku berada di apartemen seminggu ini dan keluar hanya untuk mencari pekerjaan

–tapi sekarang aku sedang berada di perjalanan menuju rumah Lennion.

Well, aku mungkin salah satu orang yang beruntung mendapatkan pekerjaan dengan mudah. Meski pekerjaanku tidak seperti pekerjaanku yang sebelumnya, hanya seorang pelayan di sebuah restoran. Dan sekali lagi, aku bekerja di sebuah restoran yang terkenal. Entahlah, gajinya cukup untukku. Setidaknya, tidak ada tagihan rumah sakit yang harus kubayar.

Mozes telah mendapatkan kekasihnya, beruntungnya dia yang tiap hari pergi bersama dengan kekasihnya tiap malam dan tidak kembali hingga pagi. Jadi aku sendirian di apartemen sambil berbicara dengan Lennion melalui ponsel.

Tidak ada yang spesial.

Aku berusaha menghubungi Justin tiap hari namun ia tidak pernah menjawabnya, bahkan pesan-pesan singkatku tidak pernah ia balas. Pergi ke rumahnya tidak mungkin, aku tidak tahu jalanan dan aku takut tersesat.

Percayalah, aku bukanlah seseorang yang pandai mengingat jalanan. Oh, sial, aku sungguh ketakutan sekarang.
           
Aku turun dari bus, meninggalkan orang-orang yang tidak sama sekali kuhiraukan. Kakiku berjalan melewati rumah-rumah pinggir jalan, apartemen-apartemen sampai akhirnya aku berada di depan rumah Lennion yang memiliki balkon di jendela pertama.

Kunaiki satu per satu anak tangga dan menekan tombol bel. Aku sudah menghubungi Lennion sebelumnya bahwa aku akan datang ke rumahnya. Ia belum melahirkan, katanya masih beberapa minggu lagi. Pintu terbuka hanya dengan satu nada bel, suami Lennion muncul dengan perawakan wajah yang tampan serta tubuh yang sangat tinggi. Ia memakai kemeja biru muda serta celana panjang. Ia tersenyum ramah padaku dan menyapa lalu mengajakku masuk ke dalam rumahnya. Ketika aku masuk ke dalam, kulihat Lennion sedang duduk di atas sofa santainya dengan kaki yang diselonjorkan. Perutnya semakin membesar. Tangannya memeluk semangkuk besar makanan ringan yang sedang ia makan, ia sangat menikmati tontonan yang sedang tonton dari televisinya. Kemudian kepalanya menoleh padaku.
           
"Hei, Faith," sapanya ramah.
           
"Sayang, aku berangkat!" Seru suaminya yang berada di belakangku. Kepalaku menoleh ke belakang melihat suaminya yang telah memakai mantel hitam panjang serta topi hitam. Dari mana ia mendapatkan pakaian itu? Pintunya tertutup.
           
"Jadi bagaimana? Apa kau sudah tahu anakmu laki-laki atau perempuan?" Tanyaku berjalan ke arahnya. Lennion menggeleng-gelengkan kepalanya.

           
"Aku tidak ingin tahu jenis kelamin anakku. Biarkan itu menjadi kejutan. Kau akan menjadi seorang Bibi," Lennion tertawa.

"Nah, apa kabarmu dengan kekasihmu itu? Tn. Justin Lexise yang tampan itu, bagaimana dengannya?"
           
"Yah, kau tahu sendiri. Aku sudah menceritakannya padamu seluruhnya. Ia tidak menghubungiku selama satu minggu dan tidak menjawab panggilan ponsel serta pesan-pesan singkatku. Terakhir aku bersama dengannya saat aku berhubungan badan dengannya lalu paginya, ia mengajakku untuk pulang ke apartemenku kembali dan ia meninggalkanku dengan sebuah kecupan singkat.

Bagaimana bisa ia melakukan itu padaku? Maksudku, ia meninggalkanku dengan sebuah kenangan yang tidak akan kulupakan.

Oh, Tuhan, ini sangat memalukan, tapi aku benar-benar merindukannya. Apakah ini artinya aku jatuh cinta dengan Justin? Benar-benar jatuh cinta?" Tanyaku yang telah terduduk di atas salah satu kursi sambil memeluk kedua kakiku yang telah ketekuk.

Mendengar ucapan-ucapan yang kukatakan tadi membuat Lennion terdiam sejenak, tangannya masih berada di dalam mangkuknya, ia tidak mengeluarkannya sama sekali. Matanya memandangku kosong, mulutnya terbuka sedikit. Sepertinya ia tidak mendengar ucapanku.
           
"Lennion?" Panggilku.
           
Ia tersentak. "Y-ya. Tentu saja. Kau pasti mencintainya. Itu sudah pasti. Aku hanya ikut sedih dengan cerita yang kaukatakan padaku. Aku pernah diperlakukan seperti itu pada suamiku, aku tahu bagaimana rasanya," ucapnya mengangguk-anggukkan kepalanya.
           
"Kau pernah? Dan segala sentuhan yang pernah ia lakukan padamu? Atau kalian tidak berhubungan badan sebelum kalian menikah? Oh, ya ampun, aku benar-benar merindukannya. Kuharap ia berada di sini dan memelukku. Ia termasuk lelaki yang benar-benar romantis dengan caranya sendiri. Aku tidak perlu bunga mawar atau cokelat. Meski aku memang bukan seorang yang romantis, tapi aku merasa diperlakukan sama seperti gadis-gadis yang menyukai keromantisan. Ada sesuatu yang aku tidak tahu itu apa, tapi ia benar-benar seperti magnet bagiku. Jika aku tahu jalanan menuju rumahnya, aku sudah pergi ke rumahnya. Ah, ya Tuhan, aku pernah merasakan hal ini sebelumnya dengan Luke. Ya, kau benar. Aku memang jatuh cinta padanya. Bagaimana caranya seseorang untuk melupakan sejenak orang yang ia cintai?"
           
"Sederhana. Temui dia. Kau pasti tidak akan mengingatnya terus menerus karena ia sudah berada di hadapanmu. Salah satu hal yang penting dalam sebuah hubungan adalah komunikasi,"
           
"Ha, semakin kau mencintainya semakin susah kau melupakannya. Benar katanya, seharusnya kita tidak jatuh cinta karena itu hanya dapat melukaimu," ucapku tak terasa mengalirkan air mata. Air mataku melewati pipi, terasa hangat sejenak kemudian terasa dingin beberapa detik setelahnya. Secepat mungkin aku menghapus air mataku.

RIGHT MISTAKES | Herren JerkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang