• || PROLOG || •

33 7 0
                                    

"Makanan sudah jadi! Silakan mencoba, ratuku," ucap Fawwaz memutar badannya sambil membawa nampan berisi hasil masakan pertama kalinya.

Gadis yang telah disuguhi makanan itu mengernyitkan alisnya bingung. "Ratu?"

Meira menggelengkan kepalanya cepat. "Aku nggak mau jadi ratu. Yang cocok jadi ratu itu Bunda Risa, Fawwaz," sambungnya.

Fawwaz bergeming. "Oke, engga apa-apa. Kalau jadi seorang putri?" tawarnya dengan suara khas dari pria itu.

Meira mengangguk. "Ya, tentu saja!"

Mereka berdua duduk di tepi rumah pohon sembari mengayun-ayunkan kedua kakinya, menikmati makanan dan pemandangan yang cukup indah.

"Apa harapan lo untuk hari ini?"

Meira mengetuk-ngetuk dagunya dengan telunjuk kanannya. "Gue pengen--gue pengen punya Merpati," jawabnya tanpa berpikir panjang. "Lo?"

Fawwaz berpikir sejenak, tengah memikirkan sesuatu yang jarang orang lain inginkan. "Um, tiba-tiba pengen pelihara angsa deh."

Hah? Yang benar saja mereka berdua ini. Itu bukan harapan, tapi keinginan, sobat.

"Semoga hari ini adalah hari yang menyenangkan!" ucap mereka bersamaan.

Keduanya membungkam. Mencari-cari topik pembahasan yang lain. Namun, selang beberapa menit, Fawwaz membuka suara, "Mei, kalau tiba-tiba gue lebih dulu ninggalin lo, misalnya meninggal. Apa yang bakal lo lakuin?"

Meira berpikir keras dan membayangkan kepergian sahabat kecilnya. "Gue engga bisa bayangin gimana gue jalanin hari-hari tanpa lo. Gue pasti hancur sih," jelasnya.

Entah ada apa dipikiran lelaki itu, ia selalu terbesit tentang kematian. Ketakutan itu terus menyelimuti dirinya. Yang paling dia takutkan adalah, harus berpisah dengan sahabatnya tanpa ada yang menahan. Ini sebuah takdir.

"Kalau gue meninggal, lo jangan tangisin gue, ya! Gue engga suka liat lo tetesin air mata," ujar Fawwaz menatap hangat kedua bola mata cokelat itu.

Meira mengangguk. "Iya, gue engga akan nangis!"

Ucapan Fawwaz saat itu sangat memukul keras batin Meira. Ini benar-benar seperti mimpi. Gue benci perpisahan, Waz.

Hati Meira mencelos saat menerima respon dari seseorang. Dadanya pun terasa sesak. Dunia seakan runtuh menimpa tubuhnya yang mulai rapuh. Gadis itu masih berusaha mengatur napasnya yang tak lagi beraturan.

Seseorang menatap Meira dengan tatapan yang nanar. Menghampiri gadis itu dan merengkuh tubuh ringkihnya dengan lembut. Membuat tangan Meira bergetar dan matanya mulai memanas. Bendungan air di kelopak matanya sudah tak bisa ia tahan dan akhirnya jebol dalam pelukan seseorang, tetesan air mengalir deras di kedua lesung pipi gadis itu.

Sekuat apapun gadis itu membantah. Nyatanya, ini bukanlah sebuah mimpi.

AlstroemeriaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang