Lembar Satu

603 86 22
                                    

Surabaya, Hinda-Belanda

1901

Jeongguk

Kapitalisme swasta masuk Hindia-Belanda dengan mulus. Terlebih dengan keyakinan banyak orang terpelajar yang tergugah hati nya melihat penduduk harus melakukan sistem tanah paksa. Dibawa oleh organisasi liberal yang sukses memenangkan kekuasaan parlemen Belanda. Sedikit-banyak berpengaruh pada keadaan masyarakat Bumi Putra. Tidak signifikan. Tapi bisa dirasakan sedikit demi sedikit.

Soerabajasch Niews en Advertentiebland menerbitkan beberapa iklan tidak bermutu. Tidak menarik. Tidak ada yang bisa dibaca di remang nya kamar atau sekadar jadi hiburan. Tidak banyak informasi bisa Jeongguk jabarkan di depan orang-orang, di pukul tiga sore, besok. Mungkin cuma desas-desus Organisasi Tiong Hoa Hwee Kwan yang resmi berdiri. Selain itu, tidak ada.

Gramophone baru dibawa ayah Jeongguk dan diletakkan di ruang tengah kediaman. Melantunkan beberapa lagu berbahasa Belanda yang masih bisa Jeongguk mengerti. Suaranya pelan-pelan masuk kamar tanpa permisi. Seakan mengundang anak lelaki tertua ini untuk turun dari loteng dan menyaksikan sang ayah yang mungkin dimabuk cerutu. Meninggalkan sang mama yang punya kamar terpisah akibat sekat yang membentang di antara Pribumi dan Eropa totok.

Kedua manik Jeongguk masih mengerjap-ngerjap. Menolak untuk tidur dan memandangi langit-langit kamar. Di dalam lemari, ia masih ingat kalau masih menyimpan satu keris peninggalam yang diberikan oleh sang kakek. Ayah dari mamanya. Katanya, bisa digunakan sewaktu-waktu kalau Jeongguk terpaksa harus memerangi ayahnya sendiri. Keberadaannya sebagai anak lelaki didorong masuk ke keluarga Jawa yang kental. Punya nuansa setengah magis dan sukses membuat Jeongguk penasaran dengan setiap detail yang ada. Berbeda dengan sang ayah yang berdarah Eropa dan tidak pandai merayu anaknya.

"Abang," suara gadis kecil mendayu dari balik pintu. Bersamaan dengan itu juga mengalun ketukan-ketukan halus di kayu. Tanda kalau minta dibukakan. Mungkin Mia. Anak itu memang tidak biasa tidur sendiri. Terbangun di malam hari karena sang ayah memutuskan untuk keluar kamar dan tidak mengindahkan anak gadis nya yang bisa bangun kapan saja dan mencari-cari.

Sisi pintu dibuka Jeongguk pelan-pelan supaya tidak menimbulkan gaduh yang tidak perlu. Menemui sosok anak manis yang memeluk guling. Mengucek-ucek mata guna menghalau kantuk supaya bisa jalan dengan benar ke kamar abang nya di ujung lorong. "Mengapa tidak tidur kau? Sudah malam. Subuh lagi, habis ini," tutur Jeongguk dalam Belanda. Berjongkok dan menyejajarkan tinggi sang adik.

"Tidak bisa tidur. Ayah pergi ke ruang tengah." Mia menjawab dengan bahasa yang serupa. Didikan dari ayah yang sama.

"Mau tidur disini?"

"Boleh?"

"Ya." Pintu dibuka Jeongguk sedikit lebar. Mempersilakan sang adik untuk masuk dan merangkak ke atas kasur. Menyebabkan gaun tidur nya kusut dan harus dibenahi oleh dua tangan kecil nya yang masih kesusahan. "Mau tidur sama mama?" tawarnya. Siapa tahu saja Mia berubah pikiran.

"Sama abang saja."

"Kenapa?" Selimut yang sejatinya cuma muat untuk satu orang, harus diperuntukkan pada sang adik. Tidak boleh Jeongguk biarkan Mia kedinginan. "Kan, enak kalau dekat sama mama. Biasanya kau, kan, suka dengar dia cerita."

"Mama kalau cerita cuma tentang Jawa saja. Aku mau abang yang cerita."

"Aku tidak punya cerita anak-anak."

"Bosan aku dengar Lutung Kasarung."

Jeongguk bisa bayangkan adiknya cuma menguap sambil menghalau kantuk guna mendengar kisah lutung itu mulai awal sampai akhir. "Lalu kau mau aku cerita apa? Di sekolah?"

Chandrakanta [kookmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang