Lembar Enam

152 48 9
                                    

Jimin

Memanglah bukan sesuatu yang besar. Acaranya cuma sekadar makan-makan dan beberapa sambutan dari pemusik desa. Lumayan meriah meski yang datang cuma dari kalangan orang-orang sini saja. Beberapa melihat Jimin dan Jeongguk seolah keduanya makhluk astral yang salah masuk ruang waktu. Padahal sudah pakai blangkon lengkap dan bercakar ayam. Berjalan pun harus berjongkok. Lewat di depan orang yang Jeongguk panggil Bapak. Mungkin ayah dari Ibundanya.

Duduk di atas tikar yang digelar di rumput sambil menyaksikan beberapa mbak-mbak melenggok kesana-kemari ternyata mengasyikkan. Pengalaman baru yang bisa Jimin dapat di Jawa. Tidak banyak yang bisa ia lakukan di kediamannya sendiri. Terlampau terstruktur dan Jimin tidak bisa bergerak dengan bebas. Apalagi cuma sekadar duduk manis dan memandangi sajian tanggap yang selalu jadi khas Jawa setiap ada acara penting.

Mia sudah ditimang-timang banyak orang. Bergantian dari adik sang Ibunda, ke Bapak, ke Mak, dan beberapa sanak saudara lainnya. Kendati memang sang Bapak punya banyak istri. Entah sah atau tidak, Jimin enggan tahu. Dijaga ketat oleh pandangan Jeongguk yang tidak pernah membiarkan adik perempuan nya diapa-apakan orang.

"Jangan kau pasang wajah garang begitu," bisik Jimin tanpa menoleh dari dua orang perempuan yang menari. "Adikmu tak akan kemana-mana. Kan, dijaga keluargamu juga?"

"Aku bahkan tak hapal mana saja yang masih saudara," jawab Jeongguk. Suaranya sedikit lebih rendah. "Harus tahu siapa saja istri Bapak. Pusing aku."

Topik menarik. "Bagaimana kiranya kalau ditempatkan di posisi Bapakmu?"

Jeongguk mendengus. Geli, mungkin. Kekehan ringan dilontarkan meski tidak begitu kencang. "Aku tak pernah bisa bayangkan kalau nanti Mia besar, dia harus tanggung lara hati seumur hidup. Mengalah dengan istri-istri lainnya. Tak akan aku bayangkan ada di posisi Bapakku, Jim. Aku tak ingin pula punya istri banyak begitu."

"Bukannya seru kalau kau bisa memilih perempuan mana yang akan menemanimu tidur nanti malam?"

Kedua alis Jeongguk memberengut. Jimin sudah berkali-kali lihat ekspresi tidak nyaman dari pemuda ini. "Bagaimana kalau kubalik? Kau menikah denganku dan kau harus berbagi dengan istri lainnya kalau kau kumadu."

"Berat," tanggap Jimin. Senyum puas tersungging di bibirnya. Ia mampu memancing Jeongguk untuk bicara panjang lebar. Soal pandangannya terhadap dunia. "Aku tak tahu siapa saja yang kau tiduri, nanti. Entah kau bawa sakit apa di dalam badanmu itu sehabis tidur dengan yang lainnya. Bisa tak sengaja tertular dan aku bisa menderita seumur hidup. Menyalahkanmu pun aku tak mampu. Tak ada hak."

"Ada," sela Jeongguk, "kau berhak menyalahkan suamimu kalau suamimu membuat kau tak nyaman."

"Mampu kah? Siapa yang akan membelaku kalau perkara ini sampai di pengadilan?" Jimin tidak mau kalah. "Kau tak lihat perlakuan orang-orang ke banyak perempuan sedari dulu? Orang yang laki-laki bersumpah di hadapan Tuhan untuk dijaga dan selalu dibahagiakan. Nyatanya semua kembali berputar. Perempuan banyak yang disalahkan atas kesalahan suaminya."

"Kau bisa beri aku contoh, Jim. Kita diskusi."

"Apa kau tak lihat cara perempuan bersanding dengan suaminya? Harus merunduk-runduk karena mendongak pun dianggap tak sopan." Berkelebat banyak hal yang pernah menyapa Jimin saat perjalanan kemari. Mulai dari sepasang suami-istri yang bertengkar sampai ke tengah jalan sampai ke tangis perempuan yang tersedu-sedu dalam pingitan. Sungguh nelangsa. "Tak sebanding dengan derita mereka yang tak dibiarkan kemana-mana itu. Harus selalu ada di rumah dan membantu Ibunya saja. Bertemu lelaki pun hampir tak boleh."

"Menunggu dijemput untuk dipinang. Lepas neraka satu, masuk ke kubangan neraka lain."

Jimin mengangguk. "Memang tak semua wanita merasakan pedihnya dimadu, tapi membayangkan ada di dalam rumah dan hampir tak dibolehkan bertemu siapa-siapa, sudah pusing."

Chandrakanta [kookmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang