Lembar Delapan

153 54 7
                                    


Jimin

Dari Jepara memang gaungnya tidak main-main. Gadis dalam pingitan orang tuanya itu pandai menulis Belanda. Beberapa menyurati banyak orang supaya tahu bagaimana kondisi wanita-wanita yang tak bisa mengenyam pendidikan tinggi. Benar apa yang ia katakan. Wanita sejatinya harus berpendidikan. Mampu menuntun anak-anaknya menuju jalan kesuksesan. Bisa diminta pendapat kalau suami sudah pusing berpikir. Dan orang-orang justru menganggapnya liberal. Tidak etis. Tidak seharusnya perempuan punya cita-cita untuk sejajar dengan kaum lawannya. Jimin lara hati mendengarnya.

Remang kamar berbekal lampu teplok sudah jadi keseharian Jeongguk. Pemuda itu cuma formalitas saja berdiri di depan dan menyambut tamu untuk beberapa jam. Selebihnya, para tamu dibiarkan. Karena bakal melenggak-lenggok dengan dua penari lainnya, katanya. Ditunggu pun, mungkin bisa sampai pagi. Pemuda ini memilih untuk duduk di kursi kayu dalam kamar. Membolak-balik lembaran buku yang berisi materi sekolah. Mungkin mengingat-ingat supaya tidak lupa.

"Besok kereta dari Surabaya datang. Kita berangkat paling pagi, Jimin." Jeongguk tidak melepas pandangan dari tumpukan kertas. "Kalau kau tak tidur, itu artinya masih ada yang ingin kau ceritakan padaku," duganya. Seolah menunjuk pakai tangan tidak kasat mata. Cuma Jimin yang bisa lihat. Menghardik dan memaksa untuk bicara lebih panjang.

"Apa kau tak mau bertemu dengan perempuan dari Jepara itu, Jeongguk?"

"Mau apa?"

"Aku penasaran dengan pemikiran-pemikirannya yang gilang-gemilang. Seorang diri di atas tanah Bapak-Ibunya yang berubah jadi penjara." Jimin harus mengerjap beberapa kali guna menghalau beberapa titik debu yang mampir lewat jendela.

"Belum kawin lagi, kan? Tak mau kau pinang saja dia?"

"Kau sama saja hancurkan kebahagiaan gadis itu, Jeongguk, kalau kau putus kebebasannya dan kau jadikan dia satu dari banyak istrimu kelak," kilah Jimin. Tidak ada niatan pula sejak awal untuk meminang gadis yang sudah luar biasa bisa berdiri sendiri. Membiarkan sinarnya redup akan sesuatu yang tidak ia kehendaki. "Baik lagi kalau aku bisa belajar dari apa yang sudah terjadi dengannya, selama ini."

"Orang-orang liberal sudah banyak bergerak." Buku yang awalnya dibuka dan dengan fokus dibaca, kini turun ke dalam tas. Sudah saatnya memang berkemas sebelum keberangkatan besok, pulang. "Mereka tuntut lebih banyak sekolah untuk Pribumi Hindia. Baik-buruknya ini, aku tak tahu. Apa kau juga pernah merasa begini gamang?"

"Kau sebut orang-orang liberal itu kawan atau lawan?"

"Tak tahu." Pemuda dengan wajah garang itu seakan mengakui kekalahan. Belum pernah Jimin lihat kawannya begitu tidak bergairah. Seakan daya hidup baru saja diserap dari tubuhnya. Bersusah-susah dan enggan merasa emosi lain. "Mau terus aku menginjaki bumi, Hatimu menulang karena uang. Kau, tuli'kan tuntutan hak dan rasa. Menghasut kelembutan jadi kekerasan. Tahu kau darimana sajak itu, kan?"

"Roorda van Eisinga." Seseorang yang berhasil meramalkan atau memberi kutukan pada masa kompeni di Hindia. Pada tahun 1961 nanti, Belanda akan terusir seluruhnya dari tanah ini. "Apa kaitannya dengan kaum liberal di Hindia?"

"Tak ada. Aku hanya merasa kalau semua ini cuma akal-akalan saja. Mencerdaskan banyak Pribumi dan dengan anehnya pula memenjarakan siapa saja yang bicara soal bejatnya pemerintahan Hindia." Jeongguk kelihatan lebih tinggi, sekarang. Di bawah remangnya ruangan dan cuma satu cahaya dari teplok. Seadanya. Tubuhnya berjalan-jalan seperti orang khawatir. Kiranya mungkin memang gundah akan masa depan yang tidak pasti. "Seandainya aku ajari orang-orang untuk melawan kompeni, apa aku juga bakal diasingkan, Jim?"

"Kau bertanya padaku seolah aku bisa meramalkan masa depan yang akan menimpa Hindia."

"Mengapa tidak? Kau pemuda yang lumayan aneh, untukku."

Chandrakanta [kookmin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang