bagian 1

72 15 10
                                    

"Angin malam itu jahat, loh.
Tadi saya jadi korbannya."

•••

Jisung merapihkan barang-barangnya, mengemasnya kedalam tas hitam. Hari ini adalah hari terakhir masa orientasi Jisung di kampusnya, dan sudah dipastikan ia akan pulang lebih larut dari biasanya karena acara tambahan yang menurut persepsinya, tak terlalu penting.

Jika dihitung, sudah 5 hari Jisung tinggal di rumah barunya ini. Walaupun Jakarta jauh berbeda dengan kota asalnya, Jogja. Jisung tak merasakan Culture Shock yang berlebihan. Ia juga cukup suka dengan lingkungan tempat tinggalnya.

Tante Joy, tetangga yang tinggal tepat didepan rumahnya sering memberi Jisung kue-kue yang ia dan anaknya-Chenle- buat sendiri. Kalau boleh jujur, rasanya sangat enak.

Mereka juga ramah, setiap pagi anak laki-laki seumurannya itu selalu berdiri didepan balkon kamarnya sembari menyeruput susu kotak. Dan ketika Jisung keluar dari rumah sembari menenteng motor matic miliknya, anak itu akan tersenyum lalu melambaikan tangan.

Mereka memang tak pernah mengobrol secara langsung, namun Jisung yakin Chenle adalah anak yang menyenangkan. Walaupun sedikit misterius, sih. Jisung masih penasaran, anak itu selalu saja ada di rumah. Seperti tak pernah pergi keluar setidaknya untuk mencari udara segar.

Ah, Jisung paham. Anak-anak jaman sekarang memang lebih suka menghabiskan waktu di rumah hanya untuk merebahkan tubuhnya diatas kasur dan bermalas-malasan. Mungkin mereka tak tahu betapa kejamnya dunia diluaran sana.

Setelah selesai dengan semua barangnya, pemuda jangkung itu lantas berjalan keluar rumah. Digerakan bibirnya bersiul-siul. Pagi yang cerah sedikit membuat mood nya naik. Tangan panjang itu menuntun motor matic yang terlihat kecil jika disandingkan dengan sang pemilik, keluar dari garasi rumahnya.

Wajah Jisung mengadah kedepan sana, ke balkon kamar Chenle lebih tepatnya. Seperti biasa anak itu ada disana, namun sepertinya Chenle tak menyadari keberadaan Jisung. Anak itu sibuk melihat-entah apa- diatas langit.

Oh, sekarang rasa strawberry.

Jisung memperhatikan kotak susu Chenle yang kini berwarna pink. Seingatnya, selama beberapa hari yang lalu anak itu selalu minum susu cokelat. Jisung memejamkan mata sembari menggelengkan wajahnya, astaga, untuk apa juga ia peduli dengan rasa susu yang Chenle minum?

Ketika netranya kembali terbuka, ia lihat anak laki-laki diatas balkon itu sedang memperhatikannya. Jisung tersenyum canggung, pemuda itu yakin gelagatnya terlihat sangat aneh dimata Chenle.

Chenle tersenyum, melambaikan tangannya. Seperti biasa, Jisung membalas lambaiannya dengan mendudukan kepalanya sedikit. Entahlah, ia pikir aneh rasanya jika ia ikut melambai.

•••

"Iz! Katanya udah boleh pulang, mau pulang sekarang?" Wanita dengan rambut pendek itu menepuk bahunya, Jisung yang sedang meminum air mineral tersedak kecil. Mengundang tawa beberapa teman disekelilingnya.

Jisung berdeham sedikit, "Udah boleh? Yaudah Saya pulang sekarang aja ya." Pemuda itu lantas membereskan barang-barangnya diatas meja.

"Yah, payah lo, Iz. Acara utamanya belom mulai juga." Pemuda bertubuh lebih pendek darinya merengek, menarik-narik tali tas hitam Jisung.

"Loh emang acara utamanya apa?"

Pemuda itu tersenyum aneh, "Bagi-bagi makanan danus yang ga laku." Jisung yang tadinya penasaran langsung kembali memasang wajah datar. Ia rasa teman-teman barunya di Jakarta memang tidak ada yang waras.

Tapi cukup menyenangkan, mereka semua ramah membuat Jisung mudah bergaul. Ia bahkan-mungkin- lebih menyukai pertemanannya kali ini daripada teman-teman yang lain.

Pemuda itu jadi berpikir kembali, masa-masa diumurnya saat ini adalah masa muda yang harus dilalui diluar, pergi bermain dengan teman-teman dan melakukan banyak hal. Ia tak mau menyesal saat tua karena belum pernah menyoba hal-hal gila yang ada dunia.

Namun, sepertinya pemikiran itu tak berlaku untuk Chenle. Jisung bahkan yakin bahwa Chenle tak berkuliah, atau setidaknya bekerja. Mereka seumuran, tapi Chenle terlihat seperti anak bayi yang baru lahir.

Astaga, mengapa ia memikirkan anak itu lagi?

"Eh liat deh, Itu Kak Ryan." Salah satu teman Jisung menunjuk kearah panggung didepan sana. Kearah pemuda dengan pakaian formal yang duduk didepan keyboard piano.

Jisung mengenalnya, dia Renjun. Kakak laki-laki Chenle. Jisung pernah melihatnya sekali keluar dari rumah itu, namun yang membuat Jisung kembali bertanya-tanya adalah, Renjun terlihat sangat dingin dan mengintimidasi.

Berbanding jauh dengan sang ibu-Joy dan Chenle selaku adiknya. Entahlah, mungkin turunan dari sang ayah? Keluarga itu memang misterius. Dan sialnya, selalu berhasil membuat Jisung penasaran.

Melihat Renjun duduk di depan alat musik itu, bersiap untuk menampilkan sebuah lagu, Jisung jadi teringat malam pertama ia pindah ke rumah barunya. Samar-samar Jisung mendengar suara lantunan merdunya piano, diiringi seseorang yang bernyanyi.

Lantunan nada itu membuat hati Jisung yang tadinya gelisah karena masih beradaptasi menjadi sedikit tenang. Oh, apakah Renjun yang melantunkam nada piano dan juga suara merdunya malam itu?

Pemuda diatas panggung akhirnya bersuara, jemarinya dengan lihai menari diatas Keyboard. Kerumunan mahasiswa baru mulai memelankan suaranya, berfokus pada Kakak Tingkat yang sedang menampilkan pertunjukan indah.

Tapi, berbeda rasanya. Jisung merasakan hal yang berbeda. Rasanya malam itu, bukan suara Renjun yang ia dengar. Bahkan, permainan pianonya terdengar berbeda. Lagu yang dilantunkan Renjun sangat indah, sangat sangat indah. Namun hanya itu. Tak ada rasa yang sama seperti malam sebelumnya, tak ada rasa nyaman.

•••

Jisung bergidik, angin dingin serasa menusuk kulitnya, terlebih ia sedang berada diatas motor sekarang. Jisung pulang dari acara kampusnya sekitar pukul 11 malam, cukup malam jika dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya.

Sialnya, malam ini ia tak membawa jaket. Karena ia pikir jakarta cukup panas jika harus memakai baju tebal. Jisung lupa jika Jakarta pun punya benda tak terlihat bernama 'Angin'. Astaga, angin-angin itu seperti sedang mengelus tubuh Jisung melalui rongga-rongga baju tipisnya.

Jisung memelankan laju motornya beberapa meter dari jarak rumahnya, netra tajam pemuda itu mendapati Chenle yang sedang berjongkok didepan rumahnya sendiri. Baru kali ini Jisung melihat pemuda itu keluar satu setengah meter diluar kediamannya.

Jisung menghentikan motor maticnya tepat di sebelah Chenle, "Arlen? Kok diluar?"

Pemuda yang lebih pendek menoleh, terlihat wajahnya sedikit terkejut namun segera ia tersenyum. "Gapapa, lagi nunggu Bang Ryan pulang."

Jisung mengangguk tanda paham, "Kenapa ga nunggu di dalem aja?" Pemuda jangkung itu pikir, mungkin basa-basi dengan tetangganya bukan hal yang buruk.

Chenle sedikit menoleh kearah rumahnya lalu menggeleng, "Sekalian cari angin, hehe." Pemuda itu merapatkan jaket biru yang dipakainya.

"Angin kok dicari?" Jisung menyalakan kembali motornya, "Angin malam itu jahat, loh. Tadi saya jadi korbannya." Lanjut Jisung, pemuda itu terkekeh kecil saat melihat raut wajah Chenle yang terlihat bingung.

"Duluan ya, Len." Jisung melambaikan tangan sebelum akhirnya masuk kedalam garasi rumah yang hanya berjarak beberapa meter dari posisinya tadi.

DedikasiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang