Part 3

10 1 0
                                    

Nadya's POV

Disini lah aku pada akhirnya bersama dengan Mala dan Reinard. Kami makan bersama di 1 meja kantin kantorku dimana banyak sekali mata yang memandang ke arah meja kami. Aku tau akan ada banyak sekali mata yang memandang ke arah kami karena 1 pria ini. Pada akhirnya Reinard turun denganku untuk menjemput Mala di kubikelnya dan kami akhirnya turun bersama untuk makan bareng di kantin.

"Uda sih Nad, makan aja kenapa, muka lo juga dikontrol, ga usah kasih tampang jutek lagian Reinard emang beneran ga ada temen di divisi gue, kan lo tau sendiri di divisi gue yang cowok dah pada married so mereka lebih nyaman makan di kubikel karena bininya pada buatin bekal."

"Gue ga suka aja kita jadi pusat perhatian, biasanya kan kita makan siang dengan tentram dan damai."

"Yah sorry deh Nad, tapi emang bener apa yang Mala bilang gue belum ada temen selain Mala di sini selain Mala karena emang gue under Mala buat kerjain project yang sama, kalau ga nyaman gue pindah tempat aja deh." Sahut Reinard

Bisa-bisanya dia menunjukkan puppy eyes di saat seperti ini dikira aku bakal luluh dengan tampangnya itu. Walaupun aku masih jengkel mau tidak mau akhirnya aku menuruti kemauan Mala untuk mulai makan bahkan aku masih sempat melirik Reinard sedikit tersenyum saat aku mulai mengangkat sendokku. Tiba-tiba aku melihat handphoneku menyala dan tertulis Nadine is calling. Aku sebenernya malas sekali mengangkat telepon Kak Nadine yang notebenenya kakak kandungku tapi terasa seperti orang asing bagiku selama hampir 28 tahun ini aku hidup.

"Kok gak diangkat?" Reinard bertanya kepadaku.

Tanpa menjawab Reinard aku akhirnya menjawab panggilan tersebut dan menyingkir dari meja kami.

"Halo."

"Halo Nad, akhirnya kamu angkat telepon aku, how are you?"

"Ga usah basa basi kak, kak Nadine kenapa telpon aku?" Aku memang akhir-akhir ini mendiamkan teleponnya karena biasanya teleponnya hanya menyuruh aku untuk pulang ke rumah which I don't feel like home at all.

"Apa susahnya sih Nad jawab I'm fine but it's okay, aku telpon kamu bukan untuk ngajak ribut sekarang, kamu ingat kan minggu depan kamu ultah yang ke-28? Mama sama papa mau kita makan malam bareng Nad, sama Dion juga."

Kak Dion itu suami kak Nadine yang selalu membuat aku iri, karena selama hidupnya aku merasa kak Nadine selalu mudah mendapatkan apa yang kak Nadine mau, apa yang orang tuaku mau, termasuk dalam hal pasangan. Kak Dion itu sosok yang bertanggung jawab, sosok yang lembut, sosok yang hangat, bahkan mungkin aku lebih sering curhat dengan kak Dion dibandingkan kak Nadine perihal keluargaku, yang lebih terpenting lulus dengan kualifikasi yang papa dan mama berikan.

"Nad? Mau kan? Kita uda lama banget gak makan malam bareng Nad." Tiba-tiba kak Nadine memanggilku lagi.

"Hm, aku gak janji kak, pas aku ultah itu hari biasa takutnya aku lembur di kantor, jadi kak Nadine ga perlu janjiin ke papa mama dulu aku bakal datang."

"Nad, uda 2 tahun kamu ngerayain ultah kamu sendiri, aku mohon as your only sister please come home for dinner? Lagipula aku juga sudah menyiapkan hadiah spesial untuk kamu Nad dan aku mau kasih kamu langsung."

Aku paling malas berdebat dengan kak Nadine yang sedang memohon seperti ini, pasti besok-besok dia akan meneleponku lagi dan lagi, terus menerus sampai aku menyetejui permohonannya. Baiklah aku pikir 2 tahun cukup untuk aku menjaga jarak dengan mereka, lagipula aku tinggal mengajak Mala untuk merayakannya bersama supaya aku masih punya teman mengobrol.

"Fine, tapi sehabis makan malam aku langsung balik ke kos dan aku akan mengajak Mala untuk dinner bareng."

"Tapi ini kan dinner keluarga Nad, aku yakin Mala juga pasti ga ngerasa nyaman untuk ikut dinner bareng kita."

"Terserah kak, itu penawaran dari aku kalau kakak ga mau ikutin lebih baik aku di kos aja."

"Kakak selalu kalah kalau berdebat sama kamu Nad, fine kamu ajak Mala aja, nanti aku yang bilang ke Mama dan Papa."

"Okay see you, aku harus balik karena aku masih makan siang."

"See you, enjoy your lunch lil sis." Akhirnya kak Nadine menyelesaikan panggilannya.

Saat aku kembali ke meja Mala, aku tidak melihat Reinard bahkan nampan yang berisi makan siangnya pun sudah tidak ada. Jadi aku berinisiatif bertanya ke Mala kemana anak itu.

"Kemana si Reinard?" aku bertanya ke Mala.

"Katanya mau ke lantai HRD karena masih ada berkas yang mau diurus di sana. Tadi siapa yang telpon lo?"

"Oh, itu kak Nadine. Mal lo temenin gue dong dinner di rumah gue pas gue ultah. Lo kan tau sendiri gue paling ga betah di rumah itu kalau ga ada temen ngobrol."

"Nad, itu kan acara keluarga lo, gue mana enak join, lagian kakak lo kan emang berniatnya cuman undang lo karena emang itu hari spesialnya lo."

"Ya kan lo juga termasuk keluarga gue."

"Lo tau itu bukan yang gue maksud. Nad suatu hari nanti lo harus ngelurusin apapun yang selama ini lo hadepin di keluarga lo, ga baik Nad keluarga itu seharusnya tempat lo pulang habis penat kerja bukannya kos tempat dimana lo malah menyendiri. Gue takut lo menyesal nantinya."

Aku sudah mendengar Mala berkali-kali menasehatiku mengenai bagaimana sebaiknya hubungan antar keluarga yang aku miliki, tapi sepertinya sulit bagiku untuk memperbaikinya. Dari dulu aku selalu menjadi pembangkang dalam di dalam keluarga dan kak Nadine yang selalu menjadi penurut. Itulah yang membuat kak Nadine menjadi kesayangan dalam keluargaku. Papa selalu mau punya anak seorang pengacara atau seorang dokter, jadi pada saat kak Nadine menuruti papa untuk kuliah hukum dan menjadi seorang pengacara pada akhirnya aku yang dipaksa untuk mengambil kuliah kedokteran.

Namun seperti yang kubilang tadi aku yang dari dulu tidak pernah menurut dengan apa yang papaku katakan akhirnya aku mendaftarkan diriku kuliah ekonomi dengan uang yang papa berikan dan ya saat papa dan mama tau itu mereka sangat marah denganku dan pada akhirnya papa tidak memberikan uang bulanan untukku selama aku kuliah sampai aku harus bekerja sambilan mengajar di sana sini untuk membiayai kehidupan sehari-hari. Namun papa tetap membayar uang kuliahku sampai aku lulus. Itupun karena kak Nadine yang memohon kepada papa untuk membayarnya. Tapi aku juga tau gengsi papa juga terlalu tinggi untuk membuat anak-anaknya tidak menjadi lulusan S1 jadi sebenernya aku tidak terlalu takut papa tidak akan membayar kuliahku. Namun ya seperti biasa kak Nadine selalu berperan seperti pahlawan di keluargaku dan aku selalu menjadi victim yang harus ditolong.

Bahkan setelah kerjapun aku lebih memilih tinggal di kos karena memang rumahku tidak terasa seperti rumah sekarang. Bahkan papa dan mama tidak melarangku untuk keluar dari rumah, malah aku berpikir sepertinya mereka bersyukur aku keluar dari rumah itu.

"Woi, bengong aja lo. Kalau ada yang lagi nasehatin tuh harus didengerin dan dilakuin bukannya malah bengong."

"Entar deh, lo ga pernah baca apa quote yang isinya time will heal."

"Nad itu cuman berlaku kalau lo nya ada usaha, kalau usaha lo nol ya sama juga bohong. Ah cape ngomong sama lo juga, buruan deh abisin makan lo gue beli sekalian beli kopi dulu sebelum naik ke atas."

"Gue uda ga niat makan, paling di atas gue ngemil cemilan aja. Yuk gue juga butuh asupan kopi lagi kayaknya."

***

Hi guys, aku kembali dengan part 3.

Semoga kalian ga bosen dengan part ini karena di part ini aku memang lebih menceritakan background keluarga Nadya.

Please give me some support by comment and vote my story.

See you in next part!

So Into YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang