5. Luvair, I Hate It

15 5 0
                                    

Hamz adalah dunia yang tercipta karena serangkaian ramalan besar. Apakah aku harus percaya itu? Tidak mungkin.

Konon katanya, Tuhan menciptakan sebuah pohon yang hanya ada satu di dunia. Pohon itu bernama pohon Latrez-- atau yang biasa dikenal sebagai pohon ramalan. Dahulu, pohon itu berdiri paling tinggi dan paling besar diantara rata-rata pohon besar di Hamz.

Setiap cabangnya adalah kayu paling kokoh dan wangi karena telah dialiri serbuk cair keemasan yang menuliskan ramalan-ramalan besar untuk banyak pahlawan dan monster. Namun seiring banyaknya ramalan yang dihasilkan Sang Latrez, Pohon agung itu mulai memudar. Meninggalkan satu sajak terakhir,

"Sang Perenggut mengintai, waspada untuk jiwa-jiwa terantai
Baginya hanyalah petualangan khayali, bagi banyak orang tiada jalan kembali
Bangunlah, bangunlah wahai Kesatria Mimpi.
Lepaskan jiwa kami, sadarlah di Bumi."

Bahkan sajak terakhir itu tidak terdengar seperti Ramalan untukku. Tapi satu kalimat terakhir cukup mencurigakan. Bukankah Luvair telah mengatakan hal yang.. mirip tadi? Sesuatu tentang Bumi. Aku malas bertanya. Aku sedang tidak ingin bicara.

Kami belum mendiskusikan rencana kami sampai sekarang. Pangeran Dannish mengatakan bahwa kami masih punya banyak waktu. Sepertinya dia mengetahui sesuatu yang tidak aku ketahui. Tentang Bunga.. Apa-layu?

"Damalayu Lamm" celetuk Luvair tiba-tiba membuatku kaget. Kupelototi pria berkulit secoklat kopi itu, selama ini dia hanya melayang diatas ruangan. Bertindak seperti awan yang ditiup angin. Lama-lama risih juga lihatnya.

"Jujur aja! Luvair, kamu bisa baca pikiranku ya?!" aku masih memelototi awan terbang itu. Sekarang dia sedang berputar secara horizontal, seperti meniru atraksi lumba-lumba.

"Hmm kamu terlalu naif Lamm. Mana ada orang yang bisa baca pikiran?" sahutnya sambil terkekeh.

"Kamu pikir aku idiot hah? Yaiyalah gak ada orang yang bisa baca pikiran! Tapi kamu kan bukan orang!"

"Aduh Lamm, apa pentingnya sih. Gini aja masih debat. Aku kan pingin kamu cepet paham sama konsep dunia ini."

Yahh bener juga sih. Alasan Pangeran Dannish sangat tidak terburu-buru menyelamatkan adiknya adalah karena aku tidak tahu apa-apa tentang Hamz. Karena itu juga dia membelikanku buku ini. Buku sejarah yang sepertinya cocok untuk dibaca sebelum tidur. Maksudku, semua yang tertulis di buku yang tebalnya sekitar 10 cm ini hanya kisah-kisah pahlawan yang memenuhi panggilan ramalan. Ada juga yang menceritakan tentang lahirnya monster. Ini sama-sekali tidak terlihat seperti buku sejarah.

"Terima aja Lamm. Kamu kan memang suka yang begini. Petualangan di depan mata. Kalau kamu masih nggak percaya dongeng yang dianggap sejarah di dunia ini, kamu enggak bisa berpikir logis. Akibatnya? You're dead!"

Tanpa kusadari, kepala Luvair sudah melayang diatas kepalaku. Aku melihat Tato-tatonya bergerak membentuk ilustrasi seorang gadis belia yang diburu serigala-serigala raksasa. Gadis itu tersandung. Serigala menerkamnya. Kemudian tato Luvair membesar menggambarkan kondisi gadis itu. Rupanya dia mati. Matanya diberi tanda silang. Lidahnya terjulur keluar. Seperti ilustrasi ikan mati. Tapi mau tidak mau aku jadi memikirkan adik Pangeran Dannish.

"Lu.. apa jaminan Raja Cebol nggak bakal macam-macam ke adik Pangeran Dannish?" Aku mendengar suaraku yang mengawang. Seperti orang sedih saja. Padahal aku tidak yakin apa yang sedang kurasakan. Apa aku benar-benar sedih? Kenapa?

"Nggak ada jaminannya Lamm" aku diam. Tidak tahu harus berkata apa. Tapi sepertinya sesuatu menusuk-nusuk dadaku dari dalam. Menyesakkan.

"Sedih?"

"Nggak tahu. Tapi dadaku sakit. Aneh.. bener-bener aneh.." kataku setengah melamun. Aku masih memikirkan gadis kecil itu. Anak kecil yang girang saat menyentuh sangkar kelabu bermuatan listrik. Dia gadis kecil yang aneh juga. Tapi sepertinya aku lebih aneh.

"Waktu itu juga, dadaku sakit kayak gini. Waktu pertama kali ketemu si putri"

"Mungkin karena Wilda"

"Apa? Maksudnya?"

"Well.. kamu Lamm. Tapi ragamu Wilda. Enggak ada yang bisa jamin di ragamu masih ada sisa-sisa jiwa Wilda atau enggak. Terus.. latar belakang Wilda? Kamu enggak tahu apa-apa kan?"

"Ya.. Tapi itu aneh banget. Aku enggak bisa, aduh kamu bikin aku merinding"

"Astagah. Apanya yang merinding! Kan kamu yang ngerebut raga. Kalo kamu mikir konsep kerasukan, yang harusnya merinding kan Wilda, bukan kamu"

"Ya ampun!! Luvair.. bisa tutup mulut nggak?!" Setelahnya, Luvair lanjut terbang sambil bersenandung seperti tidak ada yang terjadi.

***

Pangeran Dannish Kembali dengan membanting pintu.

"Ayo pergi sekarang!" ucapnya dengan napas terengah-engah.

"Hah? Kok tiba-tiba?" Padahal beberapa jam lalu dia sendiri yang menyuruhku bersantai dan belajar barang satu-dua hal tentang Hamz. Dilangit-langit, si pria angin melayang-layang sambil mendekat ke jendela-mengintip lewat ruas atas jendela itu.

"Lamm, kayaknya kamu beneran mati habis ini" Luvair tersenyum meringis. Sementara itu, Pangeran Dannish mengumpulkan barang-barangnya-yang hanya terdiri dari Pedang, belati, busur dan wadah panahnya. Tidak banyak yang bisa kubawa, aku hanya perlu membawa buku dan vest pemberian Pangeran Dannish-juga tas kulit usang kepunyaan Wilda.

"Kemana kita pergi?" tanyaku,

"Kemana saja, yang penting jauh dari para prajurit kerajaan" sahut si Pangeran

"What?! Prajurit?!", aku segera mengikuti kegiatan Luvair-Mengintip dari balik jendela. Diluar sana, di seberang sungai beberapa orang dengan seragam bernuansa emas berkuda membelah padang ilalang.

"Kok bisa?!" Pangeran Dannish menarikku keluar penginapan, Luvair memijak lantai kayu dan bertindak seperti manusia tulen. Kami menuruni tangga kayu yang sepi-setengah berlari.

"Ya, semuanya salahku. Sekarang diam dan berusahalah untuk tampak tenang"

Setelah memberi beberapa koin emas kepada pemilik penginapan yang sedang berjaga di belakang bar, kami di giring ke istal. Pemilik penginapan yang gendut itu memberikan tiga kuda, tapi Luvair segera berbisik ke Pangeran Dannish. Rupanya, bisikannya membuat Pangeran Dannish hanya mengambil 2 kuda. Mereka segera naik ke kuda masing-masing.

Aku yang masing bingung menghela napas kuat-kuat. Masa aku ditinggal?

"Ya enggaklah Lamm. Emangnya kamu tau cara naik kuda? Sini naik!"

Aku masih diam di tempat. Kepalaku memikirkan begitu banyak hal dalam satu waktu. Aku tidak mau naik kuda dengan laki-laki. Nanti kalau begini gimana-Kalau begitu gimana, tapi kalau enggak sama Luvair bisa-bisa aku tertangkap. Tinggal tunggu waktu sampai kepalaku putus di eksekusi Raja Illyria.

Aku melihat ekspresi Luvair yang masih tetap santai seperti biasa. Dia ini memang enggak punya ekspresi lain atau gimana sih.

"Ayo Lamm! Aku jadi Idolamu bukannya tanpa alasan! Aku kan Cuma Angin! Kamu masih takut cowok?! Aku ini angin! Hish!", sedangkan Pangeran Dannish hanya menatapku cemas. Aku bertanya-tanya apa yang dia pikirkan. Kalau memang aku tertangkap, tidak ada ruginya untuk si Pangeran. Lagi pula dia yang bilang sendiri kalau ini semua terjadi karena kesalahannya.

Aku memikirkan itu semua ketika berusaha naik ke kuda yang ditunggangi Luvair. Ucapannya memang benar, aku masih takut dekat dengan laki-laki. Seperti saat itu, saat Pangeran Dannish menikamku setelah rombongan Raja Cebol pergi. Kupikir itu hanya karena aku sedang ditodong belati tajam yang hampir menggorok leherku, ternyata aku juga tertekan dengan kehadiran laki-laki asing yang tiba-tiba berjarak sangat dekat.

"Aku benci. Benci. Benci. Benci." Bahkan saat kuda kami sudah berpacu meninggalkan desa, kepala, batin dan bibirku masih bertirakat.

Aku benci.

Dream CatcherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang