"Apa pertanyaanmu?"
Saat dia mengajukan pertanyaan itu, pikiranku serta-merta bercabang seperti anak-anak sungai yang kami lewati sepanjang jalan menuju desa ini, kemarin.
Pangeran Dannish sudah mempersilahkanku untuk menyebut namanya saja. Namun kepalaku tidak terbiasa menyebut namanya tanpa embel-embel "Pangeran"
Menyikapi pertanyaannya juga sikapnya yang nice and friendly, mau tak mau aku ingin mengajukan pertanyaan yang kurang-lebih menunjukkan betapa tidak peka-nya aku. Dan betapa aku-- benar-benar orang asing untuk orang yang mengajakku bicara sekarang.
"Aku senang mendapati kakakku yang sebelum-sebelumnya berusaha membunuhku.. menjadi kakak yang sangat baik sejak aku bangun dari tidur panjang.. tapi, bisakah aku tahu alasannya? Kau tau, aku benar-benar ingin berteman.. kak"
Aku menemukan kenyataan bahwa aku masih takut dengan Pangeran Dannish. Saat menyampaikan kalimatku, saat memanggilnya "kak", juga saat kukatakan bahwa aku ingin berteman. Aku bahkan tidak bisa menatap wajahnya.
Saat beberapa detik hanya terdengar suara gemericik sungai kecil juga suara Jeann dan Luvair dari kejauhan, aku memberanikan diri melihat wajahnya.
Pangeran Dannish terlihat seperti saat itu-- saat dia hampir membuatku mati tercekik. Dia menatap tanah, seolah-olah dengan dia memakukan pandangannya, tanah akan membelah dan menjatuhkannya pada retakan didalam bumi.
'serius, suka banget sih lihatin tanah?!'
Aku ingin minta maaf, tapi dia tiba-tiba menjawab dengan jenis "kekehan" paling menyedihkan di dunia.
"Pada dasarnya, engkau bertanya tentang semua hal.. saat pertama.."
Dan kata itupun keluar lagi.
"Engkau adalah Wilda Groom. Itulah yang kusimpulkan saat pertama melihatmu, kau buronan.. pantas dibunuh"
Aku mengingat kembali saat dia menempelkan bilah dingin di leherku. Tapi apa pentingnya untuk membunuhku padahal adiknya sedang diculik?
"Tapi adikmu.. apa pentingnya seorang buron dibandingkan adikmu yang diculik.."
"Itu karena buronnya adalah Wilda Groom"
.
.
.Aku merasakan kilasan yang sangat cepat terjadi di belakang bola mataku. Membuat pusing.
Pangeran Dannish bercerita sedikit tentang Wilda. Hanya seputar latar belakang Wilda dan hubungan mereka yang dekat. Aku menangkap sedikit kepahitan dalam caranya menceritakan Wilda.
Cerita Pangeran Dannish begitu mengawang. Kilasan yang menghinggapi rongga mataku tak kunjung berhenti. Namun tahu-tahu, aku mengerti lebih dari yang seharusnya kumengerti.
"Aku pernah bertanya pada orang baik yang tenggelam dibawah lapisan Es di Danau Leubran. Seperti apa rasanya, saat sangat dekat dengan maut.. saat pada detik itu juga, siapapun bisa saja menyerah untuk hidup dan diam tenggelam dalam gelap dasar danau"
Saat itu, aku bertanya-tanya. Kenapa dia menanyakan hal yang begitu jelas? Dan juga, pada orang yang baru saja lepas dari jerat maut, tidakkah pertanyaan seperti itu bisa dengan sangat mudah membuat semua orang yang mengalaminya makin kalut dimakan ketakutan? Tapi aku diam saja. Menunggunya melanjutkan.
"Semua orang yang menghampiri kami setelah proses penyelamatanku menatapku seolah mengatakan, 'Nak, kau gila? Beri pria ini kesempatan untuk bernapas!'."
"Tapi pria yang kuselamatkan tidak marah, juga tidak kesal. Dia menatapku dengan mata berkaca-kaca. Katanya, 'rasanya mengerikan. aku menyadari situasiku. aku juga tahu bagaimana harus keluar dari situasi itu. tapi nak, air es membuat seluruh tubuhku tegang dan itu bukan hal yang paling buruk yang terjadi padaku. Yang terburuk adalah kepalamu. Apa yang terjadi disana adalah hal yang menentukan apakah kau akan bertahan, atau gugur.'"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream Catcher
FantasyLamm hilang ingatan. Terbangun di tengah hutan. Kelaparan. Sendirian.