Waktu telah menunjukkan pukul dua siang kala Chika meninggalkan tempat yang kini menjadi kenangan buruk baginya.
Wina mengajaknya menepi ke sebuah taman yang tak cukup jauh dari alun-alun agar Chika dapat menenangkan diri dan menumpahkan bendungan air mata yang sedari tadi ia tahan. Mereka duduk di salah satu kursi taman yang nampaknya lengang, tak banyak orang.
Chika masih berkutat dengan pendiriannya agar tidak menangis, tanpa ia sadari bahwa pertahanan dinding matanya akan runtuh.
Chika menundukkan kepalanya ke bawah, menatap lantai-lantai taman dengan tatapan sendu.
“Gapapa”
Satu kata yang Wina ucapkan itu benar-benar membuat pertahanan Chika runtuh, ia menangis sejadi-jadinya di pelukan Wina.
“Gapapa, kamu pantas mendapatkan yang lebih baik, gapapa gapapa”
Hibur Wina sembari menepuk-nepuk tangannya di punggung Chika.
Namun, bukannya mereda, kalimat Wina justru membuatnya semakin menangis.Selang beberapa menit kemudian, saat Chika masih terlelap dalam kesedihannya, seseorang dengan jaket jeans putih berpadu celana panjang hitam datang menghampiri, Chika dapat langsung mengenali hanya dari postur kakinya saja, seorang laki-laki yang telah menjadi kesehariannya itu lagi-lagi mengikutinya. Namun ia tak merasa terganggu.
Chika masih tak juga menaikkan kepalanya. Akhirnya laki-laki itu mengambil inisiatif, ia memposisikan dirinya sehadap dengan Chika. Lantas menepis air mata di pelupuk mata Chika dan mengajak dengan tulus
“Ayo pulang!”
“Sekuat apapun usaha kita menahan air mata, akan kalah hanya dengan pertanyaan tulus ‘kamu kenapa?’ ‘gapapa kan?’”
(Angga: You are my Lovely Idol)
KAMU SEDANG MEMBACA
Angga : You are My Lovely Idol (On Going)
Novela Juvenil"Di bawah bulan purnama kala itu, Sang rembulan memberi isyarat bahwa makhluk semesta itu telah menjadi seseorang yang paling berharga dalam hidupku"