9

15 3 4
                                    

Pagi-pagi sekali Ara sudah berkutik di dapur, sementara Erna yang baru saja bangun menghampirinya. Tampak gadis itu tengah membuat teh, terbukti dari air yang ia panaskan dan cangkir yang tersedia bersama toples gula. Namun, gadis itu kebingungan mencari tempat teh.

"Teh Mama masukkankan di kulkas," ujar Erna

Wanita itu menyilang lengannya sembari menatap pergerakan Ara dengan seksama. Gadis itu tidak menyapanya dan sudah sebulan ini dia tidak banyak bicara.

"Bisa buatkan Mama teh juga?"

Lama Erna menyaksikan pergerakan gadis itu, tak ada gelas yang bertambah, Ara tetap hanya menyiapkan satu cangkir teh.

"Kenapa tidak buatkan Mama teh, Ara?"

Tak ada respon dari gadis itu.

"Kenapa semenjak Reza jadi ahli waris, kamu jadi anak yang susah diatur? Kamu iri?" seloroh Erna. "Hei! Dengar tidak?" bentaknya tak digubris oleh gadis itu.

Detik kemudian nyonya besar Bramasta itu menyambar cangkir Ara, sehingga menumpahkan isinya, untung saja gelasnya tidak jatuh. Akan tetapi, air teh yang masih panas itu mengenai lengan Ara. Gadis itu meringis, tapi segera mengaliri tangannya dengan air dingin di wastafel agar tidak melepuh.

Erna mendekatinya dan berbisik, "Bagaimana? Sakit?"

Ara meliriknya penuh amarah, tangannya masih terpasang di bawah aliran keran wastafel. Erna menatap tangan puteri tirinya tersebut.

"Semakin air mengalir deras, semakin ia jatuh ke bawah." Erna memutar keran guna menghentikan aliran air, "Sama dengan air, semakin kamu berusaha melawan, kamu akan semakin jatuh," ujarnya balik menatap gadis itu tanpa rasa takut.

Ia lalu membelai kepala Ara, "Jadilah anak penurut, agar tidak surut. Air dalam wadah tidak pernah jatuh, karena ia diam tidak mengalir."

Detik kemudian iya tersenyum, lalu menepuk pundak Ara, kemudian berlalu meninggalkan gadis yang terus saja menatapnya dengan sinis.

"Air dalam wadah tidak pernah memaksakan diri untuk mengalir, ia justru tertuang dengan sengaja, sehingga jatuh. Jika aku adalah air, maka kamu adalah wadah yang sengaja menjatuhkan diri agar air di dalamnya mengalir tertumpah."

Setelah berucap, gadis yang sudah menjadi mahasiswa itu membereskan kekacauan kecil yang terjadi barusan.

***

Tidak ada yang menyadari bahwa beberapa bulan ini terjadi perang dingin antara Erna dan Ara, yang mana Erna selalu menjadi pihak yang menang. Bagaimana tidak? Dia selalu mensiasati keadaan agar Ara mendapat amarah dari Bram.

Hari ini, Ara pulang terlambat. Karena hujan menghambat perjalanannya. Pun ia balik dengan keadaan setengah basah. Entah kenapa dia merasa tidak harus masuk ke dalam rumah. Setelah berdiri cukup lama di depan pintu, akhirnya dia memasuki rumah besar itu. Betapa terkejutnya ia begitu mendapati Bram berdiri di ujung anak tangga, seolah menanti puterinya dari tadi.

"Dari mana?" suara Bram seperti menggertak gadis itu.

"Kampus."

"Mana ada mahasiswa pulang jam sembilan! Sementara kamu tidak ada jadwal organisasi dan komunitas hari ini."

Ara menghela napas, "Tadi hujan, Pa."

"Kenapa tidak telpon supir? Apa harus juga kamu naik motor sendiri setiap hari, sedangkan mobil tersedia untukmu. Mau mandiri tidak harus terlihat seperti orang miskin. Jangan warisi sifat naif Mama kandungmu."

Seketika Ara meuruskan pandangan merasa tidak suka akan kalimat terakhir yang diucap Bram. Erna yang dari tadi duduk minum teh di meja makan dapat mendengar mereka, sudut bibir kanannya terangkat ke atas mendengar Bram menghina Nia.

"Papa Ak—"

"Dan ...." Bram memotong pembicaraan puterinya, "Apa kamu yang mengambil uang Mama Erna di tasnya?"

Ara mengernyit, "A—apa?"

Bram menghela napas, "Mama, tolong ke sini."

Ia menoleh ke arah meja makan yang tak jauh dari tangga, guna memanggil istrinya. Erna pun menghampiri dengan suara sepatunya yang seolah menggema dalam rumah. Dilihat dari penampilannya, mereka berdua baru puang dari kantor. Ara terkekeh menatap Erna, ia tahu persis wanita licik itu tengah membuat permainan.

"Ara, kemarin saat acara syukuran, Mama minta kamu membawa beberapa hadiah ke kamar Mama sama Papa, bukan?" tanya Erna.

Ara mengangguk dengan ekspresi datar.

"Nah, saat itu Mama menaruh tas tepat di meja rias. Barang kali kamu mengambil uang, Nak? Mama tidak masalah kamu ambil uang, berapapun." Erna memasang senyum elegannya seperti biasa, "Tapi, Mama harap kamu minta izin terlebih dahulu."

"Apa yang Papa ajarkan, Ara?" Bram lagi-lagi di pihak istrinya.

"Yang Papa ajarkan adalah ... Untuk menjadi anak yang baik harus pintar, berprestasi dan mengaku salah walaupun tidak salah," jawab Ara dengan nada datar.

"Apa kau bilang? Coba ulangi!" Bram maju selangkah.

"Aku bilang, Papa mengajarkan Ara untuk menjadi anak yang sempurna, benar-benar sempurna dengan cara tidak melakukan apa yang Papa tidak suka. Termasuk dengan mengaku bersalah, sekalipun aku tidak melakukan kesalahan."

"Kau!"

"Mas! Tenang," Erna menahan lengan Bram. "Dan kamu, Ara! jangan bicara yang tidak-tidak! Mama cuma minta penjelasan kamu!"

"Hadiah itu aku berikan pada Titin, asisten pribadimu."

Mendengar penuturan Ara, Erna terbelalak. Sementara Bram meliriknya seolah meminta penjelasan padanya. Erna menghela napas, lalu meraih ponselnya pada nakas. Detik kemudian ia menelpon asisten pribadinya dan menanyakan pasal uacapan Ara.

Dengan bermodalkan volume HP, mereka bertiga mendengar ungkapan Titin, "Tidak, Nyonya. Justru saya lihat Non Ara keluar dari kamar Tuan waktu itu."

Sontak Ara terlonjak kaget, "Tidak! Di—dia bohon, Pa!" seru Ara spontan.

"Bohong apa? Papa dengar jelas dia bilang apa."

"Ara, apa salahnya mengakui kesalahan?"

"Diam! Kamu orang munaf—"

Plak! Satu tamparan mendarat pada pipi gadis itu, tepat sekali ia ditampar pada tempat ibunya tersungkur beberapa tahun yang lalu. Bedanya, ia memiiki pertahanan yang kuat, hingga tamparan keras Bram tidak berhasil membuatnya jatuh.

"Dari mana kamu belajar kurang ajar seperti itu? Hah!" bentak Bram.

"Dari istrimu yang hina itu!"

Plak! Satu tamparan lagi, berhasil membuat bibir gadis itu berdarah.

"Anak kurang ajar! Masih mau diurus atau tidak, hah?"

"Aku tidak pernah diurus dengan baik semenjak Mama kandungku diusir dari sini."

"Lalu, kau sebut apa perjuangan Papa selama ini? Papa sekolahkan kamu, Papa berikan apa yang kamu butuhkan!"

"Ya, dalam materi Papa punya segalanya, tapi perihal perhatian, kepercayaan dan kasih sayang, tidak ada yang menjadi kepunyaan Papa."

Erna berusaha tampil sebaik mungkin, "Ara, berhenti bicara atau ...."

"Kamu Papa usir dari rumah ini." Bram menyambung perkataan istrinya.

"Tanpa diusir pun, Ara akan pergi dari rumah ini."

"Kalau begitu, pergi sekarang! Hidup saja di jalanan sebagai gelandangan! Anak sial!" geram Bram seolah menyesal memiliki puteri seperti Ara.

Ara mengepal kedua tangannya memandang Bram dengan penuh amarah, "Aku bersumpah, akan membalas dendam pada apa yang terjadi padaku. Setiap sakit yang kuterima dari rumah ini, akan aku balas satu per satu. Ini sumpahku, ini sumpah Ara!" berangnya menggelegar melebihi suara Bram.

Gadis melempar kunci motornya tepat di depan kaki Erna, "Ambil semua rakus!" teriaknya, lalu berbalik keluar dari rumah yang selama ini mencekiknya. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 18, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Cinta & TahtaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang