Aku masih tidak percaya, Papa benar-benar membawaku ke kota yang bernama Masamba itu. Katanya, beberapa tahun lalu kami pernah ke sana, saat acara Aqiqah anak pertama Om Ali yang seumur dengan Arka. Arini namanya.
"Di sana, kamu pasti punya banyak teman, kamu bisa belajar dengan baik."
Aku tak pernah menganggap ucapan Papa yang berusaha membuatku senang sebagai sesuatu yang patut disemogakan. Bagaimana bisa aku senang dengan kondisi keluarga yang berantakan? Masih saja Papa berbual, tak kuhiraukan lagi. Aku melontarkan pandangan keluar, walau jendela mobil tertutup penuh sebab hujan.
Menghela napas untuk kesekian kalinya, kuamati bulir-bulir air yang ada pada kaca mobil, mereka hinggap, menempel sejenak, jatuh, lalu perlahan turun menghilang. Ah ... Aku jadi ingin ikut menghilang. Andai bisa, aku ingin lenyap sebelum tiba di Masamba.
***
"Kala ... Kala." Sesuatu mengusap lenganku, "Bangun, Nak. Sholat subuh."Aku merenggangkan otot-ototku, lantas turun dari mobil. Entah di wilayah mana kami saat ini, pastinya kami di masjid, karena Papa tipe tidak bisa meninggalkan ibadah 5 waktu. Lagi, aku menarif napas panjang, melihat masjid berwarna putih dengan nuansa ala eropa.
"Cantik," gumamku spontan tersenyum, mengagumi nilai seni dari masjid ini.
Aku pun segera ke WC, membuang air kecil, mencuci wajah, kemudian mengambil wudhu. Setelahnya, aku bergabung dengan jemaat akhwat. Dari yang terlihat, mereka ada yang mengaji, ada yang sholat, dan ada yang bersiap untuk pulang sembari bercengkrama.
"Kayaknya orang udah pada sholat deh," monologku sembari meyapu pandangan mencari jam. Dan benar, sudah hampir jam 6 pagi. Lantas cepat-cepat aku mengambil mukenah.
Begitu salam kedua, aku menanggalkan mukenah tanpa ritual dzikir dan berdoa. Bukan aku tak ingin memuji Tuhan, aku hanya lelah sudah berdoa, meminta dan merintih agar kedua orang tuaku tidak berpisah. Bukannya diijabah, malah naasnya kami dalam situsi seperti sekarang.
Aku melangkah keluar, tepat di pintu, aku berbalik sejenak menatap seisi masjid searah dengan kiblat, lantas kuucap, "Kalau doaku tidak Kamu wujudkan, aku akan mewujudkan itu dengan sendiri. Keluargaku tidak boleh seperti ini."
Seolah aku menegaskan pada Tuhan, bahwa aku bisa membuat takdir di luar rencananya. Kembali aku melangkahkan kaki dari masjid cantik itu. Tampak langit sudah membiru, kami lantas kembali melanjutkan perjalanan.
"Oke Masamba, I'm ready!" ucapku memantapkan diri menatap pada kaca depan, Papa yang terkejut mendengarku jadi tersenyum.
***
Suara klakson bus membangunkanku, Papa masih saja tahan matanya untuk mengemudi. Aku mengusap wajah, ah ... Tidak sepantasnya aku tidur pagi. Aku melihat sebuah patung tangan memegang buah coklat.
"Kita di mana, Pa?" tanyaku.
"Di Radda, udah masuk wilayah Masamba ini."
Bibirku spontan membulat, seperti ini ternyata. Kota kecil. Masih memiliki daerah bernama desa dan dusun. Walau begitu, kota ini memiliki Bandara. Kami baru saja melewatinya.
"Rumah Om Ali bisa lewat Baebunta, tapi jalanan di situ rusak katanya, jadi Papa pilih lewat jalan poros Malangke aja," bebernya yang aku sendiri tidak tahu sedang membahas alur apa.
Aku memutar lagu, dan memakan camilan sembari menempuh perjalanan yang kian jauh kian menampakkan sawah dan pohon-pohon yang tidak bisa kujelaskan seperti apa bentuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita dari Masamba
Ficção AdolescenteJika waktu memiliki moment yang bisa di kenang, maka setiap tempat memiliki cerita tersendiri. Seperti Masamba, kota Luwu Utara yang memberi Kala banyak pelajaran tentang hidup. Kota di mana ia menjejaki berbagai pengalaman. Dalam kurun waktu yang...