Fix atau Fik?

93 11 42
                                    

Sial sekali, hari aku pertama memakai seragam putih biru harus terlambat karena atributku belum lengkap kemarin, bukan main, dasi saja aku beli di jalanan. Memasuki gerbang yang syukurnya tidak ada satpam. Namun, naasnya aku kelelahan, lantas berhenti lari, membungkuk seraya memegangi lutut, kemudian mengatur napas.

"Eh, kamu!" tegur seseorang berperawakan tinggi kurus di tengah lapangan upacara, tepatnya di depan tiang bendera. Sepertinya dia senior.

"Terlambat, sini berdiri!" serunya mengarahkan dengan kayu sepanjang 70 cm.

Sudah kuduga, aku mengendus kesal. Melangkah malas menuju tempat hukuman, yang mambuatku risih adalah atribut snack dan di seragamku. Belum lagi kedua kaleng yang diisi kelereng di pinggangku berbunyi tiap kali melangkah.

Kulihat ada siswa beratribut receh juga sepertiku, syukurlah aku tidak dihukum sendirian, tapi ... Hukuman macam apa itu? Hormat pada bendera berhadapan dengan sinar matahari? Ya Tuhan! Apa mereka ingin membunuhku? Aku tahu matahari pagi itu sehat, tapi kalau harus berpaoasan langaung dengan wajah, tentu semua orang enggan melakukannya.

"Pakai ini," ucap senior yang papan namanya bertuliskan Zul Fahmi, "Berdiri di situ, hormat selama 30 menit."

Astaga, aku mengalungkan papan dar kardus tersebut, bertuliskan 'Saya pemalas karena terlambat datang ke sekolah. Saya janji tidak akan terlambat lagi.' Lalu dengan berat hati aku berdiri di sebelah anak yang entah siapa namanya. Sekitar 3 detik, aku memicingkan mata, sangat silau, Tuhan aku ingin pingsan rasanya.

"Aku tidak suka hormat pada bendera."

Anak di sebelahku sepertinya membuka pembahasan. Baiklah, dari pada aku diam meronta dalam hati. Baik berdiskusi saja kan? Lagi pun kami dapat berbicara dengan nada rendah, sebab senior duduk di tangga kelas yang posisinya bisa terbilang jauh. Pun kami berbicara tanpa menoleh satu sama lain.

"Kenapa?" tanyaku.

"Itu hanya kain yang melambangkan kemerdekaan, orang-orang ingat itu sebagai simbol hak bernegara, tapi tidak dengan kemanusiaan dan hak segala bangsa."

"Hmm?" gumamku yang tidak bisa mendeteksi titik pembahasan anak ini. Dia sepertinya demokratis.

"Seperti kita, hak kita bersekolah, bukan dihukum seperti ini. Kalau pun terlambat, seharusnya diberi kesempatan menjelaskan apa alasan kita terlambat. Karena kita punya hak untuk bersuara."

Aku hanya bisa menyimak, tak tahu harus bilang apa. Karena benar juga apa yang ia katakan. Aku ingin juga berargumen, tetapi sepertinya otakku sedang tidak stabil karena belum diberi asupan.

"Kamu sudah sarapan?" tanya siswa di sampingku, aku menggeleng.

"Sama ... ayo kita pingsan," ucapnya penuh ketegasan, tapi aku tertawa kecil sebab ia mengajakku pingsan bersama. Mana ada orang pingsan direncanakan? Ada-ada saja.

"Serius, ayo kita pingsan."

"Kamu gila, kah?" ledekku.

"Kalau pingsan, kita di bawa ke UKS, sampai di sana paling dikasih minyak telon di hidung sama tangan kaki, kalau ditinggalkan, bangun dan tinggal di UKS sampai dipanggil masuk gugus. Selesai."

Aku melongo dibuat anak ini, apa iya bisa begitu? Tapi, sepertinya itu jalan yang baik, dari pada berdiri seperti ini.

"lumayan, bisa santai di saat yang lain belajar, mau?" tawarnya lagi.

"Gi-gimana?"

"Langsung buang dirimu ke lantai, tutup mata seperti orang tidur, kalau dipanggil jangan buka mata."

"A-aku enggak bisa," desisku

"Tidak bisa? Atau tidak mau?"

"Aku takut, kamu gila ya? Terus kalo pingsan enggak ada yang angkat gimana?" sodorku.

Cerita dari MasambaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang