"Buk, Pak, akhirnya Binta diterima di jurusan kedokteran"
"Wah Pak, anak kita hebat, selamat ya Binta, Ibu turut bangga atas keberhasilan kamu masuk di program studi yang kamu impikan itu"
dan di waktu yang bersamaan.
"Biru, saya dari manager perusahaan yang ditugaskan pimpinan untuk menghubungimu, bahwa kamu akan dipindahkan dalam waktu dekat ini, karena pimpinan melihat kinerjamu bagus, maka kamu dipindahkan ke kantor pusat"
Sebelum Biru merespon panggilan itu, panggilan itu pun langsung terputus.
Biru tidak tahu harus merasa senang atau sedih.
Ia belum dengar kabar baik dari Binta saat ini, begitu pun sebaliknya.
Ponsel berdering...
"Biru, saya diterima di jurusan kedokteran, terima kasih Biru karena tidak bosan untuk mengajari saya beberapa pelajaran yang belum saya mengerti kemarin" - Binta bersorai bahagia, dan Biru yang turut bahagia atas kabar dari Binta barusan.
Percakapan telepon mereka telah usai.
Kini wajah Biru yang tadi bahagia mendengar kabar dari Binta sekarang menjadi pucat pasi.
Akhir-akhir ini Biru belum menghubungi orang tuanya, dan orang tua Biru yang pada saat ini berada di Berlin, Jerman. Biru memilih menetap di sini, dan bekerja mencari uang tanpa mengandalkan kiriman dari orang tuanya, lagi pula masalah kepindahannya itu peduli apa orang tuanya.
Ia hanya memikirkan Binta.
Di waktu yang sama pula.
"Buk, Binta ingin membuat kue bolu untuk diberikan kepada Biru, karena ia sudah membantu saya sejauh ini terutama dalam hal belajar, nanti Binta ke rumahnya ya Buk".
Binta yang kali ini membuat bolu sendirian, Ibunya biasa membantu Binta dalam hal mengadon, tapi ini spesial.
Ia sambil memutar album kesukaannya - Banda Neira, Biru dan Binta sering mendengarkan album itu saat sore di Pendopo. Tidak jauh dari rumah Binta terdapat Pendopo yang juga dekat dengan Danau, tempat kesukaan mereka.
Beberapa menit kemudian, ponselnya yang sedang ia pakai untuk mendengarkan album lagu itu berdering, panggilan masuk dari Biru.
"Binta, saya ingin membicarakan sesuatu, kapan kamu ada waktu?" - Biru dengan ucapannya yang agak tertahan -
"Sesegeranya saya akan menghubungimu Biru, saat ini saya sedang mengerjakan sesuatu"
Beberapa saat kemudian, pesan masuk di ponselnya Biru, dari karyawan perusahaan tempat dia bekerja.
"Peringatan untuk karyawan yang dipindahkan ke kantor pusat untuk segera bersiap diri, kebarangkatan terhitung enam hari setelah informasi pada hari ini"
Biru bergegas ke luar kamar dan meninggalkan ponsel selulernya itu di kasurnya, ia pergi ke dapur untuk menyeduh teh, dan hanya memilih untuk membaca novel pada saat itu.
Di waktu yang sama, Binta yang sudah selesai membuat kue bolu itu, mulai menyiapkan tempat untuk diberikannya kepada Biru, Binta suka membuatkan kue bolu untuk Biru, hal itu ia lakukan sebagai ucapan terima kasih, untuk segala yang Biru lakukan kepada Binta, karena memang hanya itu yang bisa ia berikan.
Binta menuliskan surat berupa ucapan terima kasih di dalamnya.
Saat itu langit masih cerah, Binta yang bergegas ke rumah Biru sambil memegang kantong plastik berisikan kue bolu itu. Jarak rumah Binta dengan Biru kurang lebih sekitar tiga kilometer.
Beberapa menit kemudian.
Biru yang dari tadi hanya terfokus terhadap novelnya, tidak mendengar suara ketukan pintu, dan ia baru tersadar saat orang yang mengetuk pintu itu memanggil namanya, Biru. Terbangunlah ia dari tempat duduknya itu, dan langsung meraih gagang pintu.
"Hai Binta, kenapa tidak mengabari kalau kamu mau ke rumah saya?, setidaknya saya bisa membuatkan beberapa camilan kesukaanmu" - sambut Biru
"Tidak apa Biru, lagi pula saya ingin memberikanmu kejutan spesial hari ini, kue bolu coklat saya membuatnya sendiri, untukmu, dan ini juga sebagai tanda terima kasih saya kepadamu Biru"
"Ah, tidak usah repot segala, saya ikhlas membantumu Binta, dan saat ini saya juga turut senang atas pencapaianmu bisa masuk ke jurusan impianmu"
Kawanan burung gereja yang terbang di atas mereka, Biru mengepalkan tangannya karena ia tertahan untuk menyampaikan beberapa hal kepada Binta, dan Binta yang sambil menatap ke atas, takjub untuk kawanan burung gereja itu.
Sore itu mereka tidak pergi membeli permen kapas langganannya yang beberapa jarak dari Pendopo lalu berjalan santai di pinggir danau dan berteduh di Pendopo dekat Danau itu, mereka memutuskan untuk di rumah saja, apalagi perihal kabar yang masing-masing mereka terima saat ini.
Senja yang kian kemari kian memudar, bulan yang kini mengambil alih peran, Binta pulang ke rumahnya, dan Biru menemaninya karena ia khawatir kalau Binta ada apa-apa saat di perjalanan pulang nanti.
Tidak seperti biasanya, kali ini tidak sebanyak biasanya pembicaraan mereka, masing-masing hanya menikmati suasana malam pada saat itu.
Sesampainya di rumah Binta, Biru langsung berpamitan pulang, padahal biasanya ia mampir sebentar sambil bercakap-cakap kecil dengan Binta atau dengan orang tuanya Binta.
Padahal masih ada enam hari untuk keberangkatannya, tapi sepanjang perjalanan wajahnya pucat, entah apa yang is pikirkan, bukankah seharusnya ia senang atas pencapaiannya itu?.
Sejenak Biru singgah di warung dekat Pendopo itu, tangannya merogoh kantong celananya, dan mengeluarkan beberapa uang, ternyata ia ingin membeli obat tidur.
Akhir-akhir ini Biru memang susah untuk tidur, beberapa kali ia sudah berusaha keras memaksanya namun hasilnya nihil, dan semenjak ia meminum obat tidur itu, tidurnya seperti biasa lagi.
Pukul tujuh malam. Jalanan masih ramai dengan kendaraan, begitu pun pedagang di pinggir jalan yang masih menjajakan barang dagangannya.
Biru yang hatinya masih diliputi keresahan, berjalan di bawah sinar rembulan dan ramainya jalanan pada saat itu.
---------------------------------------------------------------------------------------------
Nantikan untuk cerita selanjutnya
Stay health & keep following the health protocol.
Sampai jumpa...
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way I Understand You : Ended in pain & the way I won
Romance"Pertama kali saya melihat Binta, saya tahu akan ada sesuatu di antara kita"