Bab 16
"Nala sudah menikah? Kapan?" tanyanya sedikit terkejut.
Aku menunduk. Berusaha mengatur emosi agar semuanya baik-baik saja. Walaupun demikian, aku tidak ingin penantian selama ini berakhir sia-sia. Mungkin sekarang adalah waktu yang tepat untuk saling berterus terang.
Pak Rangga menoleh ke arah pintu, sepertinya dia tidak nyaman berdua-duaan denganku di jam kerja. Aku pun sama, takut kalau tiba-tiba ada orang masuk dan berpikir buruk. Ah, jangan sampai! Maksudku ingin meluruskan masalah yang belum tuntas di lima tahun lalu.
"Gimana kalau kita ngobrolnya di luar kantor. Saya khawatir nama baikmu akan rendah di mata karyawan lain. Ayo ikut!" perintahnya.
Aku melangkah menuruti saja. Lalu Pak Rangga meminta izin kepada Pak Arya dengan alasan urusan keluarga. Bagaimana denganku? Aku bukan keluarga Pak Rangga. Kira-kira mereka curiga tidak, ya kami keluar kantor berdua.
"Kita mau ke mana, Pak?" Aku bertanya setelah mengikutinya masuk mobil. Laki-laki di sampingku belum menjawab. Dia tengah memutar badan mobilnya untuk keluar dari parkiran.
"Kita ke kafe yang deket sini aja," jawab Pak Rangga.
Kurang dari dua puluh menit mobil yang kami tumpangi berhenti di depan bangunan minimalis bernuansa coffe. Setelah membukakan pintu mobil dengan remote khususnya, aku mengekori Pak Rangga menuju tempat duduk paling pojok. Pilihan yang bijak, Pak. Kutahu dirimu takut kepergok jalan sama aku 'kan? Eh, tepatnya kita menghindar dulu dari orang-orang kantor. Kalau semua sudah clear, pasti tidak akan kucing-kucingan lagi. Tapi, kok berduaan gini malah aku yang canggung, ya. Berasa sedang diintrogasi.
"Ayo jelasin soal kalung itu," ujarnya to the point.
Saliva kutelan dengan susah payah, mencoba menjernihkan pikiran sebelum menjawab pertanyaannya. "Kalung ini pemberian dari Nala sebagai pelangkah Nikah," jelasku.
Kening laki-laki di hadapanku berkerut, bahkan alis tebalnya hampir menyatu. "Apa?" Suaranya terdengar kebingungan. Apa kupingmu bermasalah, Pak?
"Iya pelangkah nikah," ulangku disertai anggukan pertanda ucapanku barusan tidak salah. Sekarang wajah Pak Rangga tidak seseram tadi saat di kantor. Malah sepertinya dia menganggap ucapanku sebuah lelucon.
Lama dia tidak membalas. Hampir lima menit aku menunggu jawaban.
"Pak Rangga gak pa-pa?" sapaku melambaikan tangan. Barangkali dia lupa tujuan awal kita ke sini mau apa.
"Berhenti manggil saya Bapak. Kita 'kan seumuran," pintanya.
Tiba-tiba seorang pramusaji datang sambil membawa buku menu. Dia tersenyum ramah lalu menawarkan kami pesanan.
"Kamu mau pesan makan, Nay?" Pak Rangga menatapku.
"Minum aja kayaknya," sahutku lalu memilih cappucino drink harga paling standar. Mengingat tanggal gajian masih satu minggu lagi, alangkah baiknya menghemat isi dompet. Belum tentu juga 'kan Pak Rangga yang traktir kali ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelangkah Nikah [Proses Terbit]
أدب المراهقينBlurb Sebuah kalung berinisial huruf E Nayshila (Naya) minta dari Naylena (Nala), adiknya, sebagai pelangkah nikah. Di usia yang berangsur dewasa menjadi kasak kasuk tak berkesudahan. Sebenarnya, bukan trauma cinta alasan Naya mengurung niat menikah...