Bulan Bundar Sempurna

111 2 0
                                    

Bulan di atas sana bundar. Bundar sempurna. 

"Purnama, ya?" Tanyaku. Daguku bersandar pada bahumu yang kokoh. Aku memandangi bulan itu dengan seksama. 

"Purnama sudah lewat," jawabmu singkat. 

"Oh ya? Lalu kenapa bulan itu bundar?" 

"Memang bundar sempurna, ya?" 

"Lihat saja sendiri." 

Tapi kamu tak melihatnya. Bulan yang berada di balik punggungmu tak juga kau lihat. Kamu sibuk mengisap rokok dan memandangi laut. Deburannya menjilati batu-batu di sepanjang tepian pantai. Ancol malam ini tidak begitu ramai. 

"Bisakah ini disebut pantai? Kupikir pantai itu harus selalu berpasir," desahku. Mataku menyusuri batu-batu besar di sepanjang pantai Ancol ini. Tanganku memeluk tangan kirimu. Dingin. Aku tidak membawa jaket. Tapi, hei, bukankah itu sebuah alasan bagus untuk terus merapatkan tubuhku ke tubuhmu? 

Malam ini adalah pertemuan pertama kita setelah beberapa hari yang lalu aku dan kamu mengikrarkan kata cinta. Dan Ancol dengan bulan bundar sempurna terpilih untuk menyaksikan kita pacaran. Aku tertawa sendiri saat mendengar kata 'pacaran'. Geli rasanya. Sepertinya kita telah menjelma menjadi sepasang remaja kasmaran yang tak hentinya saling memandang, merapatkan badan dan meremas tangan jika ada kesempatan. 

"Apakah tak apa-apa kita bersama seperti ini?" Pelan-pelan aku menghirup aftershave wangi yang menguar dari tubuhmu. Menyimpannya baik-baik dalam memoriku agar aku bisa menghadirkan rasamu saat aku sendiri nanti. 

"Memang kenapa?" Ujarmu tanpa beban. 

"Aku takut." Kulepaskan pelukanku agar aku bisa melihatmu dengan jelas. 

Kamu balas memandangiku. Tatapanmu membuatku jengah. Lalu, sebelum aku memutuskan untuk menatap laut, kedua ujung bibirmu tertarik ke atas. "Aku menjalani hidup ini dengan ringan. Jika di depan nanti ada masalah, ya dihadapi saja." 

Aku tak tahu harus berkata apa. Tatapanku kini jatuh ke laut. Mencermati ombak yang bergulung-gulung dan akhirnya pecah di pantai. Aku tak mau hubunganku denganmu berakhir seperti itu. Terburai di tepi pantai. 

"Reda, cinta itu sesuatu yang adiluhung karena ia adalah cahaya Ilahi. Dan kau kini kekasihku. Kau tahu apa artinya kekasih, Reda?" 

Aku mengangguk. Senyum nakal menghiasi wajahku sekarang. "Pacar, cowok." 

Kamu meremas tanganku gemas. "Bukan." 

"Lalu?" Alisku bertaut. 

"Kekasih itu teman untuk mencari cinta. Pacar atau cowok hanya mementingkan cinta secara fisik saja. Aku ingin cinta kita lebih dari itu. Aku ingin kamu jadi temanku dalam mencari cinta itu, Reda." 

Aku serupa lilin yang dicumbui api. Meleleh. "Terima kasih, Raga." 

Kau mengecup keningku pelan. Kemudian, menggandengku pergi dari pantai itu. Angin sudah tak lagi sepoi. Bulan tak lagi bundar. Tak ada lagi yang bisa dinikmati kecuali kebersamaan kita. 

* * * 

Mobilmu berpacu dengan waktu. Napas kita menderu. Sebentar kemudian mobil merapat di pelataran hotel mungil berartistik Belanda. Kincir mungil mengapit pintu masuknya. Aku membuka pintu mobil dan menggunakan tas kerjaku sebagai pelindung kepala dari guyuran hujan. 

"Temanku di Jakarta banyak," jawabmu sederhana saat aku mengeluh, "jauh sekali." 

Pilihanmu jatuh pada kota hujan. Pilihan yang akhirnya membuatku menyeringai senang setelah kita merapat dalam kamar. Hujan yang tak juga berhenti dan AC yang berembus pelan menguatkan alasan kita untuk saling menghangatkan. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 11, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bulan Bundar SempurnaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang