Dua

7 0 0
                                    

_________________________________________________

Kelabu sudah menghiasi langit, hawa dingin mulai menyapa, rintik hujan perlahan-lahan jatuh membasahi bumi.

Belum sampai satu menit, deras curah hujan membuat para insan bernyawa berlarian mencari tempat berteduh.

Lain halnya dengan yang dilakukan seorang gadis remaja berseragam putih biru yang baru pulang sekolah itu. Gadis berjilbab putih itu terus berjalan dengan santai, membiarkan butiran air mata langit langsung mengenai tubuhnya.

Tidak ada eskpresi yang ditunjukan gadis berusia sekitar 14 tahun itu. Ia hanya menatap lurus ke depan, sesekali menghalau butir hujan yang menghalangi pandangannya.

Basah kuyup. Gadis beransel hitam itu tetap melangkah santai. Sepatu yang dikenakannya pun lembab, terisi oleh air genangan yang dipijaknya.

Beberapa orang dewasa yang sedang berteduh menatapnya keheranan.

Tepat saat gadis berpostur tubuh tinggi sekitar 156 cm itu melewati sebuah warteg kecil, seorang wanita seusia ibunya memanggil dirinya. Memintanya untuk mampir berteduh, yang ditanggapi dengan gelengan samar dari gadis itu.

Entah si Ibu warteg itu menyadarinya atau tidak karena intensitas hujan yang semakin deras membuat jarak pandang sedikit terganggu. Tapi setidaknya, gadis itu sudah memberi respon sebagai bentuk menghargai.

Terus melangkah, di tepi jalan raya yang sedikit lenggang. Beberapa kali menyebrang jalan tanpa rasa takut pada kendaraan yang mungkin saja si pengendara tidak menyadari kehadirannya.

Terbiasa pulang sekolah dengan berjalan kaki, jarak yang ditempuhnya pun tidak terlalu jauh, dari sekolahnya hanya berjarak beberapa puluh meter dari rumahnya, bisa ditempuh dalam kurang lebih 15 menit dengan berjalan kaki.

Sampai pada gang kecil menuju rumahnya, gadis itu berlari kecil saat retina matanya menangkap bangunan kecil bercat putih yang tak lain adalah rumahnya. Ia menyeru pelan, mengucap salam.

Melepas sepatu dan kaos kakinya asal, meletakan ransel basahnya di luar, lalu gadis itu masuk kedalam rumah.

Didapatinya sang Ibu yang kebetulan sedang duduk di kursi ruang tamu, menatap putri tengahnya yang basah kuyup.

"Kehujanan pas pertengahan jalan pulang. Hehe ..." dustanya.

Gadis itu menyengir kuda, menunjukan deretan gigi dengan dua gigi kelinci dan sebuah gigi gingsul. Kekehan kecil keluar dari bibir ranum gadis itu.

Sang Ibu hanya menatap sang putri tengah dalam diam, tak menanggapi pernyataan yang diberikannya.

"Minta handuk, Ma. Dingin" pintanya.

Sang Ibu bangkit pergi, lalu kembali dengan sebuah handuk kering ditangannya. Di lemparnya handuk itu pada sang putri, yang langsung ditangkap oleh gadis itu dengan sigap.

"Hehe~"

Cengenges gadis itu, sambil melilitkan handuk itu pada tubuhnya. Setelah dirasa cukup kering, gadis itu berlari kearah kamar mandi untuk membersihkan diri.

***

Bersama matahari yang tenggelam pada pekatnya awan kelabu.
Aku tenggelam pada kepahitan tak berdasar yang membawa pilu.
Bersama rintik air mata langit tercurah kebumi.
Menjadi titik buta selindung air mata kesedihan ini.

Seperti dedaunan yang mulai melayu pada sebuah pohon besar nan nampak kokoh.
Seperti halnya aku yang mulai tak mampu dengan besarnya cobaan walaupun aku nampak mampu.

Kemalangan ini seperti tak berujung.
Kesepian ini nampak semakin nyata.
Senyuman yang terukir semakin kontra dengan jiwa.

Membuat aku semakin rindu pada pangkuan Sang Pemilik Semesta.

________________________________________________

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 30, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Tentang AkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang