MUASAL menuntun sepeda dengan pelan di rusuk jalan. Para pelita membungkuk, menyorot kedua insan yang tengah diwabah kesedihan. Ralula mulai mendekap bahu, merasa kedinginan. Benar-benar belum timbul percakapan. Hanya terdengar beberapa ranting bertepuk tangan.
"Maaf ya, saya nggak bisa ngantar kamu ke konser," ujar Sal, tetap fokus menatap beberapa paku yang sukses menghiasi kedua roda sepeda miliknya.
"Nggak papa kok, Sal. Lagian kan gue yang maksa. Tapi jujur ...... gue agak nyesel sih. Harusnya gue naik taksi, nggak perlu nungguin Mera sama Ndayu. Jadi gue bisa nonton konser dan lo bisa lanjut nganterin pesanan."
Netra Sal berlari ke wajah pemudi itu, lalu terperosok jatuh. Di sana, Sal melihat segores penyesalan tumbuh. Tapi Ralula berusaha acuh tak acuh. "Terus, kenapa masih keras kepala biar diantar sama saya?" tanya Muasal, cukup masuk akal.
Ralula terkekeh sebentar sebelum mengalihkan pandang dari trotoar. "Ya biar bisa berduaan sama lo lah! Toh, itu kesempatan yang nggak mungkin lewat dua kali."
Ingatan masa lalu melanglang sepintas. Beberapa hal mengenai Ralula memang terlampau membekas. Karena Sal pernah dibuat jatuh namun menyenangkan. Sampai-sampai, dulu Sal pernah menobatkan Lula sebagai konstelasi rasa nyaman. Tapi kini dia berpikir, itu terlalu kekanak-kanakan.
"Kamu masih suka sama saya, La?"
Keduanya tak berhenti melangkahkan kaki, seolah pertanyaan tadi bukan dirajut dari hati. Ya, sebut saja Sal hanya ingin basa-basi. Lalu selepas jeda tiga detik, Lula menanggapi dengan senyum semi. "Masih. Kan kalau kata orang, cinta pertama itu susah dilupa. Lo sendiri gimana?"
Cengkraman Muasal pada setir sepeda semakin erat. Napasnya sedikit memberat. "Kamu bukan cinta pertama saya."
Lula membisu. Dia bisa mendengar cemoohan ranting kayu. Seketika senyum pemudi itu pun layu. "Memangnya cinta pertama lo siapa?"
Hiruk pikuk ibu kota kian mereda, nyaris hilang dari jangkauan telinga. Atmosfer menyeret benak Muasal untuk berkelana. Batavia, selama sembilan tahun Sal nyaris tak pernah melunturkan senyum sabitnya. Hingga dia, seseorang yang Sal sebut sebagai cinta pertama pergi. Bermodal kalimat dengan kadar gula tinggi, dia berjanji akan kembali. Namun nyatanya, dia tak menepati, bahkan untuk setahun sekali.
"Saya nggak bisa sebut nama. Yang jelas, kamu tau dia."
Ralula berhenti memungut langkah. Sepertinya, acuan Lula dan Sal beda arah. Tapi mereka tak mau bermusyawarah. Ketika dua insan terlibat percakapan, tidak semua bisa sejalan. Jelas akan timbul pemikiran yang berlainan. Apalagi, yang satu tak mau mengutarakan kebenaran. Umm semesta, terlindas roda salah paham itu ...... cukup menyenangkan.
• ❈ •
Masih di malam yang sama. Nuca kembali melepas rindu dengan Ranggema. Bersila di alun-alun kota, seraya bercengkrama. Asap tipis wedang ronde menyinggung hidung. Telinga Nuca sejujurnya terganggu akan desakan kata milik para pengunjung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Yang Kemarin Ingin Jadi Dewasa
Teen Fiction❝ Kami mendengar ocehan dari tanah. Katanya, dewasa itu seperti Ayah yang bekerja hingga lupa rumah. Dewasa itu seperti Ibu yang tiap hari menyuarakan amarah. Dan dewasa itu seperti Kakak yang sedang buta arah, lalu menghanyut indah bersama masalah...